Begini Penjelasan Freeport soal Keputusan PHK Ribuan Karyawan Mogok

Begini Penjelasan Freeport soal Keputusan PHK Ribuan Karyawan Mogok
Riza Pratama

TIMIKA | Manajemen PT Freeport Indonesia (PTFI) tetap pada prinsipnya mengklaim jika ribuan karyawannya dianggap telah mengundurkan diri secara sukarela setelah melakukan aksi mogok kerja tidak sah, meski keputusan tersebut telah menuai kontroversi. 

 

“Kami memahami situasi sulit yang tengah dialami oleh para eks karyawan, namun demikian, mereka bertanggung jawab atas tindakan mereka sendiri,” kata Juru Bicara PT Freeport Indonesia Riza Pratama kepada seputarpapua.com dalam rilisnya, Minggu (21/1). 

 

Riza Pratama mengatakan, pada awal April 2017, PT Freeport Indonesia mulai mengalami mangkir pekerja dalam jumlah besar. Dimana lebih dari 3.200 pekerja langsung dan 600 pekerja kontraktor tidak bekerja sesuai jadwal kerja. Hal ini berlangsung beberapa minggu sebelum pemberitahuan mogok kerja pada tanggal 20 April. 

 

“Perusahaan berkali-kali telah melakukan beragam upaya dalam menghimbau para pekerja untuk kembali bekerja, termasuk melalui iklan di surat kabar (lokal) dan radio, poster, surat kepada pemimpin komunitas, serta surat resmi langsung kepada para pekerja agar mereka kembali bekerja,” katanya. 

 

Riza menjelaskan, saat upaya tersebut tidak berhasil, perusahaan lalu menganggap tidak kembalinya pekerja (ke tempat kerja) sebagai pengunduran diri secara sukarela. Ia juga mengklaim keputusan perusahaan sebagaimana diatur di dalam peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan dan Perjanjian Kerja Bersama (PKB).

 

“Perusahaan telah mengalami beberapa kali kejadian penghentian kerja oleh sekelompok pekerja dalam rentang 2011 hingga 2017, yang kesemuanya merupakan mogok kerja tidak sah menurut peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan,” kata dia.  

 

Para pekerja sepanjang melakukan mogok kerja tidak sah tersebut, kata Riza, diampuni setelah mereka sepakat untuk tidak mengulangi mogok kerja tidak sah. “Penting dicatat bahwa mogok kerja tersebut mengakibatkan terganggunya operasi perusahaan dan berdampak terhadap para pemangku kepentingan, termasuk pada pembiayaan program masyarakat lokal dan penerimaan Negara,” klaimnya. 

 

Seperti pada alasan awal, Riza menyatakan bahwa saat mogok kerja tidak sah terjadi pada tahun 2017, perusahaan itu baru saja menyelesaikan langkah efisiensi setelah produksinya secara signifikan terkendala karena pembatasan ekspor. Saat ini, katanya, perusahaan itu masih dalam ketidakpastian terkait kelangsungan operasi pasca 2021.

 

Sebagai bagian dari langkah efisiensi dan untuk mengelola ketidakpastian operasional dengan lebih baik, perusahaan asal Amerika Serikat tersebut menyiapkan rencana operasional baru yang mengharuskan 823 pekerja dirumahkan karena posisi mereka dihilangkan. 

 

Kata dia, perusahaan tidak menghalangi para eks pekerja tersebut melamar posisi kontraktor yang dirinci dalam rencana operasional baru. Kemudian, atas masukan dari Pemerintah dan melalui kesepakatan dengan PP SPSI, pada Desember 2017 perusahaan sepakat untuk memberikan tambahan pembayaran kebijakan kepada para eks pekerja hingga maksimum 4 ½ kali upah bulanan mereka. 

 

“Sejauh ini, 10 eks pekerja telah mengisi posisi kontraktor dan 38 eks pekerja telah menandatangani kesepakatan untuk menerima tambahan pembayaran kebijakan,” katanya. 

 

Pendiri Kantor Hukum dan HAM Lokataru, Haris Azhar mengatakan, Freeport telah menjadikan ribuan karyawannya sebagai korban dengan merumahkan ribuan pekerja untuk menekan pemerintah. Baik untuk kepentingan tarik menarik penerapan IUPK maupun kepentingan memperpanjang izin ekspor konsentrat enam bulan. 

 

“Tak terkecuali dalam kepentingan menjaga orang-orang atau elit politik di Jakarta yang ada dalam daftar 351 kontraktor di PT Freeport Indonesia. Saya melihat ini secara polistis dan politik ekonomi bahwa sebetulnya sebanyak 8.300 pekerja dijadikan umpan atau kambing hitam,” tukasnya. 

 

Disamping itu, Haris mengatakan, dalam proses ini karyawan mengalami penindasan secara terstruktur dan sistematis pada situasi yang diciptakan oleh manajemen perusahaan itu. Menurutnya, Freeport ingin menunjukan kekuatan atau sebuah dampak sebagai ancaman kepada pemerintah ketika itu. 

 

“Freeport ingin mengatakan bahwa anda sebagai pemerintahan dari sebuah republik ini tidak bisa berbuat apa-apa, karena anda juga mengharapkan belas kasih uang dolar dari kami. Jadi pemerintah seolah-olah disandera oleh praktek bisnis yang buruk dilakukan oleh Freeport,” kata Haris. 

 

Adapun kebijakan furlough itu membuat pekerja diliputi keresahan luarbiasa hingga melakukan mogok kerja pertanggal 1 Mei 2017. Freeport kemudian menganggap pekerja mogok tersebut telah mengundurkan diri secara sukarela, lalu memblokir akses terhadap asuransi kesehatan, perbankan dan lainnya. 

 

“Freeport ingin menyampaikan bahwa kalau anda (pemerintah) tidak mau ikut dengan tawaran kami, tidak mau tunduk pada kontrak karya, ini lihat warga Negara anda saya anggap sebagai kecoak dan hina dinakan, mereka tidak ada artinya,” katanya. 

 

Saat ini lembaga bantuan Hukum dan HAM Lokataru tengah melakukan investigasi masalah ini. Lokataru bersama ribuan pekerja berencana akan melakukan gugatan hukum maupun secara perdata terhadap berbagai dugaan pelanggaran dilakukan perusahaan maupun sejumlah instansi pemerintah maupun perbankan. (rum/SP)

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Seputar Papua. Mari bergabung di Grup Telegram “Seputarpapua.com News”, caranya klik link https://t.me/seputarpapua , kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *