Isu Penculikan Anak Membuat Murid SD di Pomako Tidak Sekolah

Isu Penculikan Anak Membuat Murid SD di Pomako Tidak Sekolah
Komisi C DPRD Mimika dan dan guru-guru SD Negeri 10 Pomako saat foto bersama. (Foto:Muji/SP)

TIMIKA | Adanya isu penculikan anak yang menyebar di Kampung Pomako, Kabupaten Mimika, Papua membuat murid-murid SD Negeri 10 tidak bersekolah.

“Beberapa waktu lalu, guru-guru mendengar dari Ketua RT  bahwa anak-anak tidak mau sekolah karena takut ada penculikan,” kata Kepala SD Negeri 10 Pomako, Anna Rettob saat menerima kunjungan Komisi C DPRD Mimika, Kamis (8/11). 

Selain itu, pihaknya juga menanyakan langsung kepada murid-muridnya dan mereka  mengatakan hal yang sama. 

Menurut informasi yang ia peroleh dari murid-muridnya kata Anna, ada sebuah mobil warna hitam menculik anak. "Namun hal itu belum bisa dipastikan, apakah betul atau tidak. Jangan sampai kita mengatakan betul, teryata itu hanya sekedar hoax (bohong)," katanya.

“Karenanya, kami akan berkoordinasi dengan Polsek Pelabuhan Pomako. Ini dilakukan, agar ada sosialisasi kepada orang tua. Sehingga anak-anak ini mau sekolah dan tidak takut terhadap penculikan anak,” tambahnya.

Selain penculikan terhadap anak, masalah lain adalah faktor ekonomi. Dimana mereka sering diajak orang tuanya untuk bekerja. Ditambah lagi, setiap ada kapal penumpang milik PT Pelni datang, sekolah dipastikan dan selalu kosong. 

“Hampir semua anak-anak yang sekolah di sini pasti ke pelabuhan, kalau ada kapal Pelni datang. Apalagi tempat tinggal mereka berada di wilayah pelabuhan,” ujarnya.

Untuk itu, pihaknya sering pergi ke pelabuhan untuk mencari anak-anak dan mengajak mereka ke sekolah. 

“Kami juga pernah minta tolong ke Pak Made, anggota Polsek Pelabuhan Pomako untuk mencari anak-anak itu. Dan beliau bersama anak buahnya ikut membantu, tapi hasilnya tetap sama, mereka tidak mau masuk sekolah,” ungkapnya.

Sementara pendekatan ke orang tua murid, kata dia, sudah sering dilakukan. Pada saat rapat juga sudah disampaikan dan meminta agar anak-anaknya pergi ke sekolah. Jawaban dari orang tua, mereka sudah menyuruh anak-anak mereka untuk ke sekolah. Namun kenyataannya anak-anak ini banyak yang tidak datang ke sekolah.

“Mungkin dalam perjalanan dari rumah tidak sekolah, melainkan ke tempat lain. Yang akhirnya kami kembali mencari anak-anak tersebut. Dan ditanya ke orang tua, mereka katakana tidak tahu,” terang Anna.

Saat ini jumlah siswa yang terdaftar di sekolah tersebut sebanyak 152 anak. Namun setiap harinya yang masuk tidak sampai 50 anak. Dimana sekolah ini mulai kelas I sampai V, sementara untuk anak yang ke kelas 6 dipindahkan ke sekolah satu atap. Sedangkan jumlah guru ada enam orang, yang berstatus PNS tiga orang dan honorer juga tiga orang berstatus honorer.

Menanggapi hal tersebut, Ketua Komisi C DPRD Mimika, Yohanis Kibak mengatakan, kondisi terbalik dengan situasi yang terjadi di sekolah pedalaman maupun pesisir pantai. Kalau di pedalaman dan pesisir pantai, anak-anak didiknya ada tetapi gurunya tidak ada. Namun di sini justru guru-guru ada, anak-anaknya tidak ada.

"Saya baru dapat kejadian seperti ini, ada guru tapi tidak ada murid. Kalau daerah lain, murid mau belajar tapi tidak ada guru. Ini perlu mendapatkan perhatian khusus dari semua pihak," tuturnya.

Sementara anggota Komisi C DPRD Mimika, M Asri menambahkan, terkait dengan adanya isu penculikan anak perlu sosialisasi semua pihak menjelaskan terkait hal tersebut. Sehingga masyarakat tidak terbawa terhadap isu yang tidak benar.

“Semua pihak harus melihat ini, mulai pemerintah tingkat distrik, kelurahan, kampung dan aparat keamanan untuk memberikan sosialisasi terhadap masyarakat, terhadap isu yang belum tentu kebenarannya,” katanya.

“Kalau tidak, maka orang tua dan anak-anak ini akan termakan isu dan tidak masuk sekolah,” ujarnya. 

Sementara menyangkut orang tua mengajak anaknya untuk mencari nafkah, baik itu nelayan dan sebagainya perlu adanya pemahaman yang diberikan kepada orang tua, agar anak-anak mereka mengenyam pendidikan.

“Intinya orang tua ini butuh penjelasan dan pemahaman akan pentingnya pendidikan bagi anak-anak mereka. Sehingga tidak membawa anak-anak mereka ikut mencari nafkah,” terangnya. 

Selain itu, kata dia, perlu juga masyarakat  merubah pola pikir untuk lebih giat lagi. Dalam arti, orang lain bisa maju kenapa masyarakat asli Papua ini tidak.

Serta perlunya dukungan, pembinaan, dan pendampingan atau keberpihakan dari pemerintah kepada masyarakat. Dengan memberikan pelatihan kepada masyarakat, apakah tentang nelayan, berdagang dan lainnya. Sehingga mereka bisa bersaing dengan nelayan lainnya. 

“Meski pemerintah sudah melakukan pelatihan, tapi perlu ada evaluasi sejauh mana perkembangan dari pelaksanaan pelatihan tersebut. Apakah masyarakat bisa menerapkannya atau tidak?,” ujarnya.

Evaluasi ini penting, untuk mengetahui apakah pelatihan itu membawa dampak bagi perekonomiannya atau tidak. Kalau perekonomiannya meningkat, maka pastinya orang tua tidak perlu lagi membawa anaknya mencari nafkah dan lebih fokus kepada pendidikan.

Tetapi jika tidak, maka sangat perlu dilakukan evaluasi dengan melihat semua aspek. Dalam arti, kekurangannya dimana? Apakah permodalan, pendampingan, pemahaman atau lainnya.

“Masalah-masalah ini perlu jadi bahan masukan dan evaluasi semua pihak, khususnya pemerintah dan DPRD. Kalau tidak, maka sampai kapan masyarakat akan hidup seperti ini terus,” tuturnya. (mjo/SP)

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Seputar Papua. Mari bergabung di Grup Telegram “Seputarpapua.com News”, caranya klik link https://t.me/seputarpapua , kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *