Freeport Tanggapi Aksi Mantan Pekerjanya di Depan Istana Merdeka

Freeport Tanggapi Aksi Mantan Pekerjanya di Depan Istana Merdeka
Ilustrasi

TIMIKA | Juru Bicara PT Freeport Indonesia (PTFI) Riza Pratama angkat bicara menanggapi aksi 'eks pekerja' perusahaan itu yang menggelar tenda dan tidur di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat, termasuk beberapa aksi sebelumnya. 

Riza Pratama membenarkan bahwa eks pekerja tersebut adalah merupakan bagian dari sekitar 3.500 pekerja PTFI, yang berakhir hubungan kerjanya karena melakukan mangkir berkepanjangan. 

"Berdasarkan aturan ketenagakerjaan mereka dikualifikasikan telah mengundurkan diri," timpal Riza dalam keterangan tertulis yang diterima Seputar Papua, Kamis (14/2). 

Ia menjelaskan, kejadian bermula ketika PTFI tidak dapat memasarkan konsentrat produksi tambangnya akibat larangan ekspor dan tidak beroperasinya Smelter dalam negeri pada Januari 2017. 

"Akibat situasi ini, PTFI mengambil langkah-langkah efisiensi untuk mengurangi belanja modal dan biaya operasi perusahaan," katanya. 

Berkenaan dengan langkah efisiensi terkait ketenagakerjaan, kata Riza, PTFI antara lain melakukan pengakhiran penggunaan beberapa tenaga asing, tidak melanjutkan penggunaan beberapa kontraktor, dan membebastugaskan beberapa pekerja langsung PTFI yang diikuti dengan penawaran program pensiun dini. 

Pada bagian lain, sejak 12 April 2017, bersamaan tengah berlangsung proses sidang Ketua PUK SPSI saat itu (Sudiro), dimana secara gradual pekerja PTFI dan kontraktor bersama-sama tidak masuk kerja. 

"Karena para pekerja tersebut tidak masuk kerja atau mangkir melebihi 5 hari berturut-turut, maka sesuai aturan ketenagakerjaan dan Perjanjian Kerja Bersama (PKB), PTFI melakukan himbauan masuk kerja hingga panggilan resmi," kata dia. 

Menurutnya, PTFI telah secara patut memanggil para pekerja untuk kembali bekerja. PTFI bahkan menggunakan berbagai media masa untuk menghimbau mereka kembali bekerja. Namun panggilan dan himbauan perusahaan tersebut tidak diindahkan oleh sebagian besar mereka, hanya kurang dari 300 pekerja yang hadir kembali bekerja.  

“Perusahaan telah melakukan berbagai upaya dalam menghimbau para pekerja tersebut untuk kembali bekerja, termasuk melalui surat kabar dan radio, iklan, poster, surat melalui pemimpin komunitas, dan surat langsung kepada para pekerja agar mereka kembali bekerja. Namun hanya sebagian kecil yang memenuhi panggilan bekerja kembali,” ujar Riza Pratama.

Pada tanggal 20 April 2017, serikat pekerja mengumumkan mogok kerja. 

“Kami memahami langkah ini dilakukan guna menjustifikasi langkah mangkir berkepanjangan tersebut.  Namun mengingat situasi perusahaan dan para perkerja tersebut terus menerus melakukan pelanggaran berat serupa, PTFI mengakhiri hubungan kerja dengan mereka karena dikualifikasi mengundurkan diri,” kata Riza. 

Dijelaskan oleh Riza, UU Tenaga Keja mengatur bahwa perusahaan dapat melakukan pemutusan hubungan kerja karena dikualifikasikan mengundurkan diri terhadap pekerja yang mangkir (5) hari kerja atau lebih berturut-turut yang tidak memenuhi panggilan kerja yang disampaikan perusahaan. 

Ia mengutip pernyataan Pakar Hukum Perburuhan, Fakultas Hukum – Universitas Indonesia (UI), Melania Kiswandari, bahwa surat pemberitahuan mogok kerja tersebut tidak mengacu pada UU Tenaga kerja yang mengatur prasyarat mekanisme mogok kerja dan baru disampaikan setelah mangkir terjadi terlebih dahulu. 

“Mogok kerja yang dilakukan oleh karyawan PTFI pada tanggal 1 sampai 30 Mei 2017 dapat dikategorikan sebagai mogok kerja yang tidak sah. Akibat hukum dari mogok kerja yang tidak sah adalah dikualifikasikan sebagai mangkir, yang jika sudah dipanggil sesuai ketentuan tidak juga kembali bekerja, maka dapat diproses dengan kualifikasi pengunduran diri,” tegas Melania, demikian Riza. 

Segala upaya telah dilakukan oleh berbagai pihak untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi. Atas masukan dari pemerintah dan melalui kesepakatan dengan Pimpinan Pusat Serikat Pekerja, pada 21 Desember 2017, perusahaan sepakat untuk memberikan bantuan kemanusiaan kepada para eks pekerja. 

"Bantuan kemanusiaan yang ditawarkan ini pun tidak ditanggapi secara signifikan oleh para eks pekerja tersebut," ungkap Riza. 

Di sisi lain, Riza mengklaim tingkat produksi PT Freeport justru membaik setelah ribuan karyawan tersebut sudah tak lagi bekerja di perusahaan. Dia juga mengklaim hubungan industrial antara perusahaan dan karyawan kini lebih harmonis.

“Kami melihat bahwa terjadi perubahan yang signifikan. Dengan jumlah pekerja yang lebih sedikit, ternyata kita mampu memproduksi lebih banyak. Peningkatan produktivitas seperti itu tentunya sangat mendorong kami. Dan harapannya kita bisa berkontribusi lebih besar lagi bagi bangsa dan negara,“ kata Riza. 

Penyelesaian melalui jalur hukum adalah alternatif akhir yang disarankan Riza dalam kasus ini. (*rum/SP)

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Seputar Papua. Mari bergabung di Grup Telegram “Seputarpapua.com News”, caranya klik link https://t.me/seputarpapua , kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *