Pelecehan Jurnalis Perempuan Jadi Perhatian Dunia

Pelecehan Jurnalis Perempuan Jadi Perhatian Dunia
Katua Umum FJPI, Uni Lubis.

JAKARTA | Ketua Umum Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI), Uni Lubis di Jakarta, Jum'at (10/5/2019) mengatakan, pelecehan terhadap jurnalis perempuan di dunia maya, salah satu poin yang ikut dibahas dan menjadi agenda penting pada World Press Freedom Day 2019 yang digelar di Ethiopia, dari 1 hingga 3 Mei lalu.

Wartawan senior yang kini menjabat sebagai Pimpinan Redaksi IDN Times ini menghadiri Pembukaan Peringatan Hari Kemerdekaan Pers Sedunia, World Press Freedom Day 2019, yang dibuka secara resmi oleh Direktur Jenderal UNESCO Audrey Azouylay, di markas pusat Uni Afrika di Addis Ababa, Ethiopia.

"Ada beberapa agenda penting yang menjadi sorotan, salah satunya tentang pelecehan jurnalis perempuan. Pelecehan di ranah internet terhadap jurnalis perempuan, salah satu poin yang ikut dibahas dan menjadi agenda penting pada waktu itu," kata Uni Lubis.

Selanjutnya, Uni Lubis  mengatakan, pada kegiatan itu juga digelar lab untuk menghadapi pelecehan terhadap jurnalis perempuan yang mereka alami di ranah media sosial.

Sesi ini melibatkan jurnalis, lembaga pengaturan internet, akademisi, penggiat sipil dan pemerintah. "Masing-masing  menyampaikan usulan untuk merumuskan bagaimana format yang baik untuk menangkal serangan terhadap perempuan jurnalis di ranah maya," sebut Uni Lubis.

Theresa Thorbacher pada waktu itu langsung yang memimpin diskusi sesi ini, dan hasil diskusi ini akan melengkapi studi yang dilakukan UNESCO soal melawan pelecehan terhadap perempuan jurnalis di media sosial .

World Press Freedom Day 2019 memgusung tema “Media for Democracy, Journalism and Elections in Times of  Disinformation”.  

Setiap hari ada 10 hingga 12 sesi di Peringatan Hari Kemerdekaan Pers Sedunia, membahas tantangan bagi media untuk menjadi pilar penting demokrasi, terutama bagi para jurnalis yang bekerja di era maraknya informasi palsu.

Pada pembukaan, dalam sesi pleno pembukaan, Audrey Azoulay yang sebelumnya menjabat Menteri Kebudayaan Prancis mengajak 1.500-an peserta yang hadir di Auditorium Nelson Mandela untuk menguatkan komitmen mendukung kemerdekaan pers. 

“Tugas jurnalis sangat banyak. Tanpa jurnalis, tidak ada jurnalisme, tanpa jurnalisme tidak ada demokrasi,” kata Uni Lubis menyampaikan apa yang disampaikan Azoulay pada pada waktu itu.

Mulai Juni 2019 akan datang, UNESCO yang merupakan organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang antara lain mengurusi media, akan meluncurkan kampanye mendukung perempuan jurnalis. 

Forum Jurnalis Perempun Indonesia, sebagai 'rumah besar' para jurnalis perempuan di Indonesia yang kini sudah memiliki delapan cabang, akan ikut mengawal jurnalisme, mendukung dan mengkampanyekan perlindungan terhadap jurnalis perempuan, baik di tanah air maupun di internasional. 

"Ini komitmen kami bersama, sejak hadir dan berdirinya FJPI pada 2007 di Medan, Sumatera Utara," tegas Uni Lubis.

Salah satu sesi penting dalam rangkaian kegiatan WPFD2019 yang berlansung 1 hingga 3 Mei, adalah lab bagaimana menangani pelecehan terhadap perempuan jurnalis di ranah internet.

Sesi pleno pembukaan dihadiri juga oleh Presiden Republik Demokratik Federal Ethiopia, Sahle-Work Zewde. Presiden perempuan pertama di Ethiopia itu berbagi transisi demokrasi yang tengah dilakukan di Ethiopia, di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Abiy Ahmed. PM Abiy yang menjabat sejak April 2018 itu membebaskan semua tahanan jurnalis dan aktivis. Ethiopia sebelumnya dikenal sebagai negara yang paling banyak memenjarakan jurnalis.

Sementara itu pada pertemuan yang juga dihadiri Ketua Dewan Pers RI, Stanley dan Wakil Ketua, Ahmad Djauhar, membahas beberapa agenda dalam pembukaan WPFD2019. Yaitu:

1.Serangan terhadap media dan jurnalis kianganas, kredibilitas media jadi sorotan.
2. Jurnalis menghadapi tantangan meliput Pemilu di era digital.
3. Media berperan penting dalam menjaga kridibilitas Pemilu.
4. Pelecehan di ranah internet terhadap jurnalis perempuan.
5. Dua jurnalis Reuters yang ditahan di  Myanmar memenangi UNESCO Guillermo Cano World Press Freedom 2019
Guillermo Cano Award diberikan untuk mengingat jurnalis Guillermo Cano Isaza, yang dibunuh di depan kantornya,  koran El Expectador, di Bogota Kolumbia pada 17 Desember 1986. (fjpi/azk/SP)

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Seputar Papua. Mari bergabung di Grup Telegram “Seputarpapua.com News”, caranya klik link https://t.me/seputarpapua , kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *