TIMIKA | Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme (Lemasa) dan Lembaga Musyawarah Adat Suku Kamoro (Lemasko) menegaskan sebagai wadah perjuangan masyarakat adat pemilik hak ulayat di Mimika, Papua.
Dalam konferensi pers di Timika, Rabu (10/3/2021), Lemasa-Lemasko memastikan hingga kini berdiri sebagai lembaga adat yang diakui secara resmi khususnya dalam urusan hak-hak dasar masyarakat Amungme dan Kamoro di PT. Freeport Indonesia (PTFI).
Direktur Lemasa Johnny Stingal Beanal menyebut, pergerakan kelompok tertentu atasnama masyakat adat belakangan ini, jelas telah mencederai lembaga adat Lemasa-Lemasko sebagai wadah yang sah.
“Ada demonstrasi di Freeport, ada pembentukan kelompok atasnama masyarakat dimana-mana. Tapi orang melihat Lemasa pasti bicara orang Amungme, orang melihat Lemasko pasti bicara orang Kamoro,” katanya.
Ia juga menyebut, kini ada kelompok ingin membubarkan Community Development PTFI (mempertanyakan dana 1 persen), dan meminta bernegosiasi dengan Presiden Direktur PTFI Tony Wenas.
“Hal-hal begini, kita sebagai orang Amungme dan Kamoro harga diri itu ada. Kita punya honai (lembaga adat). Jadi mestinya, kalau ada masalah kita duduk sama-sama dalam honai,” kata Johnny.
Karena itu, atasnama lembaga Johnny menyangkal kelompok-kelompok yang kini berangkat ke Jakarta untuk menemui Presdir PTFI atasnama masyarakat adat. Mestinya, menurut dia, jika ada masalah dibicarkan bersama bukan memecah belah masyarakat.
“Bagaimana Freeport, pemerintah, dan kita duduk sama-sama. Kita bicara tentang masa depan Amungme-Kamoro. Kelompok yang berangkat ke Jakarta itu tidak bisa, kecuali jika ada persetujuan dan rekomendasi dari lembaga adat,” kata dia.
Tinggalkan Balasan