TIMIKA | Para Bupati di Provinsi Papua Tengah dalam pertemuan dengan Komisi IX DPR RI, memaparkan kondisi kesehatan di daerahnya masing-masing.
Pertemuan yang dilakukan pada Jum’at, 14 April 2023 di balroom hotel Swiss-Belinn Timika, Kabupaten Mimika, Papua Tengah tersebut, dalam rangka reses Komisi IX DPR RI ke Provinsi Papua Tengah. Komisi IX DPR RI diketahui membidangi kesehatan dan tenaga kerja.
Adapun para bupati yang hadir dalam pertemuan tersebut yakni Bupati Paniai Meki Frits Nawipa, Bupati Puncak Willem Wandik, Bupati Dogiyai Yakobus Dumupa, Bupati Nabire Mesak Magai, dan Plt Bupati Mimika Johannes Rettob.
Plt Bupati Mimika dalam kesempatan itu menyampaikan upaya kesehatan di Mimika terus diperjuangkan guna memperbaiki kualitas pelayanan terhadap masyarakat dan kuantitas maupun sarana dan sumber daya manusia (SDM).
Malaria memberikan sumbangsih 30 persen di Indonesia, karenanya Kementerian Kesehatan menetapkan laboratorium malaria di Kabupaten Mimika, sehingga banyak obat malaria dari hasil penelitian yang dilakukan di Mimika.
“Itu tentang masalah malaria,” ujar Plt Bupati Mimika.
Untuk sarana kesehatan, Mimika memiliki 28 puskesmas, 46 pustu, satu RSUD dan empat rumah sakit swasta yang cukup baik. Empat rumah sakit swasta ini satunya berada di kawasan pertambangan PT Freeport Indonesia, RS AEA (International SOS), satunya adalah RSMM yang khusus melayani kesehatan masyarakat 7 suku, RS Tjandra Medika dan RS Hasih Herlina.
Kemudian Rumah Sakit Pratama yang baru dibangun di Desa Banti, Distrik Tembagapura, dalam waktu dekat akan diresmikan agar bisa dioperasikan untuk pelayanan kesehatan masyarakat sekitarnya.
“Dari 28 Puskesmas, sudah ada enam puskesmas yang bisa rawat inap, dan tahun ini akan bertambah delapan lagi, dan tenaga dokter umum lengkap,” katanya.
Sedangkan kebutuhan SDM kesehatan di Mimika rata-rata sudah cukup banyak, terutama perawat dan bidan. Sesuai Undang-undang Perawat dan Bidan, jenjang pendidikannya minimal D-4, karena itu Pemkab Mimika menyekolahkan lagi melalui kerjasama dengan sejumlah Universitas di luar Mimika. Hal itu agar perawat dan bidan yang dimiliki Pemkab Mimika benar-benar menjadi petugas medis yang diakui.
Begitu juga di Mimika telah memiliki sekolah keperawatan, dimana RSUD Mimika menjadi sekolah untuk pendidikan. Namun demikian, ada saja kesulitan yang terjadi, seperti bagaimana kita meningkatkan akreditasi dari pusat pelayanan kesehatan yang ada.
Plt mengakui bahwa Pemkab Mimika memiliki kesulitan yang luar biasa dalam hal merekrut dokter spesialis. Padahal, Pemkab Mimika memberikan insentif cukup besar, termasuk rumah sebagai tempat tinggal dan mobil untuk transportasi. Namun teryata untuk mendapatkan dokter spesialis diakui sangatlah sulit.
“Hari ini kita kesulitan untuk mendapatkan dokter jiwa yang saat ini dibutuhkan,” kata Johannes Rettob.
Terkait masalah stunting, Pemkab Mimika cukup serius dalam hal itu. Yangmana dalam 1 tahun terakhir Mimika bisa menurunkan angka stunting sampai 7 persen. Penurunan itu dilakukan dengan berbagai cara mulai di kota sampai ke kampung dengan memberikan makanan tambahan serta memprioritaskan daerah sasaran pelayanan stunting.
“Kami tentukan 14 daerah sebagai pilot project untuk menurunkan stunting, dan Mimika jadi salah satu tempat untuk pilot project penurunan stunting,” terangnya.
Sedangkan untuk jaminan kesehatan masyarakat melalui BPJS Kesehatan, Plt Bupati Mimika mengakui tahun ini sudah mencapai 98 persen, Pemkab sudah membayarkan 300an ribu penduduk Mimika, dan diharapkan tahun depan sudah bisa 100 persen.
Sementara Bupati Paniai Meki Frits Nawipa menyampaikan, rumah sakit di Paniai melayani empat kabupaten, mulai Kabupaten Deiyai, Dogiyai, Intan Jaya dan Nabire untuk operasi tulang. Sementara peskesmas terdapat 30 puskesmas, dan dari jumlah itu baru terdapat enam puskesmas yang memiliki dokter umum, selebihnya tidak memilikinya.
Karenanya Pemkab Paniai koordinasi dengan Pemprov Papua Tengah agar Rumah Sakit Paniai menjadi rujukan, sehingga bisa mendapatkan dukungan sekaligus bantuan dari pemerintah provinsi dan pusat untuk melengkapi sarana dan prasarana serta tenaga medis.
“Kekurangan tenaga medis menjadi masalah yang kami hadapi, sehingga pelayanan kesehatan tidak maksimal. Hal ini menjadi tantangan yang luar biasa, karena tidak bisa diselesaikan dalam waktu dekat, dan ini jadi masalah di daerah Papua Tengah kemungkinan, kecuali Mimika dan Nabire,” tutur Bupati Meki.
Karena itu, Bupati Meki Nawipa berharap Satgas Nusantara Sehat yang diperbantukan dan tahun ini selesai, dapat dilanjutkan untuk membantu pelayanan kesehatan di Paniai.
Sementara untuk BPJS kesehatan, Pemkab Paniai menghadapi tantangan besar lantaran adanya organisasi gereja yang menyampaikan bahwa KTP menjadi nomor setan. Sehingga hal itulah yang membuat masyarakat enggan untuk mengurus BPJS Kesehatan.
“Padahal BPJS Kesehatan memberikan manfaat yang banyak. Tapi ini jadi tantangan yang besar bagi kami. Karenanya kami harap pelayanan bisa dipertimbangkan, agar bisa melayani kesehatan masyarakat,” ujarnya.
Sedangkan Bupati Dogiyai Yakobus Dumupa menyampaikan kondisi kesehatan dari segi sarana dan prasarana di daerahnya sangatlab minim, alasannya karena Dogiyai merupakan kabupaten baru. Rumah sakit saja masih tipe pratama, sehingga pelayanan kesehatan kurang maksimal lantaran masalah tenaga medis dan lainnya.
“Kabupaten Dogiyai sangat kurang tenaga dokter,” ungkap Yakobus Dumupa.
Untuk puskesmas, terdapat 20 puskesmas di daerah itu, lima puskesmas memiliki dokter, sementara lainnya tidak ada. Begitu juga terdapat pustu, namun terkadang buka dan terkadang tidak dalam hal melayani masyarakat.
“Pelayanan kesehatan juga dipengaruhi masalah keamanan, dimana banyak tenaga medis yang merasa ketakutan dalam melaksanakan tugas,” katanya.
Sementara Bupati Puncak Willem Wandik dalam kesempatan itu menyampaikan bahwa di daerah yang dipimpinnya terdapat 25 distrik. Pada 11 distrik sudah dibangun puskesmas, empat distrik puskesmas sedang direhab, sementara delapan distrik belum memiliki puskesmas. Begitu juga untuk tenaga medis, masih kurang.
“Tenaga medis di Puncak masih sangat kekurangan,” kata Willem Wandik.
Willem Wandik mengaku pernah berkoordinasi dengan Bapenas terkait masalah SDM kesehatan yang sangat kurang. Apalagi Pemkab Puncak sampai membiayai orang untuk sekolah kedokteran, namun malah pindah ke daerah lain lantaran masalah keamanan di Kabupaten Puncak.
Wandik meminta kepada Kemenkes RI terkait kriteria pembangunan rumah sakit. Hal ini dikarenakan Kabupaten Puncak masih jauh dari kelengkapan, namun masih diberikan kriteria. Lantaran susah untuk memenuhi kriteria, akhirnya Puncak bekerjasama dengan Mimika dalam hal pelayanan kesehatan.
“Saya minta untuk kriteria dipertimbangkan lagi. Kalau daerah maju pakai kriteria, tapi daerah terpencil jangan pakai kriteria, dan ini perlu ada perubahan regulasi,” tegasnya.
Tinggalkan Balasan
Anda Harus Login untuk berkomentar. Belum Punya Akun ? Daftar Gratis