TIMIKA | Doa Rekonsiliasi dan Diskusi Publik digelar Sekretariat Bersama Dewan Adat Suku-Suku Papua (DASSPA) selaku fasilitator menyikapi pertikaian batas tanah adat yang terjadi di Distrik Uwapa, Kabupaten Nabire, Papua Tengah dan telah menimbulkan korban jiwa maupun kerugian harta benda.
Kegiatan itu digelar di Gereja KINGMI Jemaat Bahtra Kwamki Baru, Kabupaten Mimika, Papua Tengah, Senin (12/6/2023).
Dalam kegiatan tersebut, dijelaskan dalam siaran pers Sekretaris Bersama DASSPA yang diterima media ini, dihadiri oleh para kepala suku pegunungan Papua, mulai dari suku Mee yang diwakili Piet Nawipa, suku Yali diwakili Vincen Samulai, Suku Dani diwakili Karel Mosip, Suku Moni diwakili Yakobus Songgonau, Suku Nduga diwakili Elipanus Wesareak, Suku Amungme diwakili Beny, serta para Tokoh Adat lainnya, Tokoh Agama, dan juga Tokoh Pemuda.
Selaku Fasilitator Sekretariat Bersama DASSPA, Pendeta Deserius Adii, S.Th membuka kegiatan itu dengan Doa Rekonsiliasi untuk perdamaian dan pemulihan bagi suku-suku yang hidup dalam trauma dan pertikaian di beberapa daerah pegunungan Papua, seperti Nabire, Yahukimo, Nduga dan beberapa daerah lainnya.
Usai doa rekonsiliasi, kegiatan dilanjutkan dengan diskusi lepas para kepala suku pegunungan Papua Tengah yang bernaung didalam Sekretariat Bersama DASSPA dan mengangkat tema “Manajemen dan Strategi Penanganan Konflik Sosial Kepala-kepala Suku dalam Kalangan Masyarakat Pedalaman Papua Tanpa Adanya Pertikaian dan Peperangan Antar Sesama Suku”.
Dalam diskusi tersebut para kepala suku pegunungan Papua Tengah mengeluarkan beberapa poin-poin pernyataan menyikapi pertikaian yang terjadi di Kabupaten Nabire beberapa waktu lalu.

Pertama, masalah sengketa batas tanah adat di Kampung Topo, Distrik Uwapa, Nabire, masyarakat diminta untuk tidak terprovokasi dengan isu-isu yang berkembang terkait masalah itu.
Kedua, masalah sengketa tanah adat di Topo adalah masalah sekelompok warga atau masyarakat yang tinggal disekitar Topo, Distrik Uwapa, Nabire, bukan atas nama suku. Kemudian, kelompok masyarakat yang terlibat pertikaian itu diminta untuk membangun diskusi dan duduk bersama, membicarakan secara baik tanpa harus bertikai sehingga mengorbankan nyawa manusia.
Ketiga, para provokator diminta untuk menghentikan segala bentuk provokasi yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung, baik itu secara lisan maupun tulisan yang kemudian dimuat melalui media massa.
Keempat, masyarakat yang bertikai diminta untuk menghentikan ancam-mengancam, saling balas membalas, saling bunuh-membunuh dalam berbagai kepentingan apapun yang melibatkan dan mengatasnamakan suku-suku di tanah Papua, baik itu menjelang pesta politik Indonesia tahun 2024, atau kepentingan meloloskan perusahaan lokal, nasional, atau perusahaan asing di seluruh wilayah pegunungan Papua, seperti yang dialami beberapa tahun belakangan di Mimika.
Kelima, segera membentuk Ketua-ketua Dewan Adat Suku masing-masing agar kedepan ketika ada masalah dapat diselesaikan melalui Peradilan Adat yang di mediasi langsung oleh Ketua-ketua Dewan Adat Suku masing-masing, tanpa melibatkan masyarakat luas untuk menghindari konflik sosial.
Keenam, setiap suku-suku di Papua agar segera dapat membentuk Peradilan Adat dan Peraturan Adat Suku masing-masing yang mengatur tentang hutan, sungai, air, pohon, tanah, batu dan pasir, serta harta kekayaan alam yang ada diatas tanah adat masing-masing suku. Hal ini agar dapat menghindari konflik-konflik maupun pertikaian baru yang dapat bermunculan di era otonomi jilid II dengan Daerah Otonomi Baru (DOB) di seluruh tanah Papua, yang berdampak langsung dengan masyarakat adat di masing-masing daerah.
Tinggalkan Balasan