MIMIKA, Seputarpapua.com | Studi terbaru dari Celios, lembaga riset di Indonesia, mengungkapkan dampak serius proyek Food Estate di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan, terhadap emisi karbon Indonesia.
Penebangan hutan mencapai 2 juta hektar untuk proyek ini diperkirakan akan menghasilkan tambahan emisi karbon sebesar 782,45 juta ton CO₂, setara dengan kerugian karbon mencapai Rp47,73 triliun.
Temuan ini mempertegas risiko lonjakan emisi yang berlawanan dengan komitmen Indonesia mencapai Net Zero Emission pada tahun 2050.
Menurut studi Celios, proyek ini tidak hanya mendorong kenaikan ekstrem emisi karbon Indonesia, tetapi juga berpotensi meningkatkan kontribusi global emisi karbon Indonesia dari 2-3 persen menjadi 3,96-4,96 persen atau meningkat 2 kali lipat. Dampak ini menciptakan tantangan besar bagi upaya global untuk menekan laju perubahan iklim.
Kebijakan pelepasan karbon skala besar ini juga berpotensi menurunkan kepercayaan terhadap komitmen Indonesia dalam kerangka Perjanjian Paris, yakni mencapai batas kenaikan suhu 1.5 derajat Celcius.
“Dengan asumsi kontribusi emisi karbon Indonesia meningkat hingga 2-3 persen akibat food estate di Merauke, kita berpotensi kehilangan waktu 5-10 tahun untuk mencapai target Net Zero Emission pada 2050,” kata Direktur Kebijakan Publik Celios, Media Wahyudi Askar yang dikutip dari halaman resmi https://fwi.or.id.
Ia menyampaikan, ini adalah lonceng peringatan bahwa kebijakan pembangunan besar-besaran tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan dapat menjadi bumerang, tidak hanya berdampak negatif terhadap masyarakat asli Papua tetapi juga mempercepat krisis iklim global.
Proyek ini juga, menurutnya, dinilai bertentangan dengan upaya global dalam mengurangi emisi karbon. Dunia saat ini tengah berupaya menekan emisi untuk menjaga kenaikan suhu bumi di bawah 1,5°C. Namun, megaproyek di Merauke justru memberikan kontribusi signifikan terhadap peningkatan emisi global.
Forest Watch Indonesia (FWI) juga mengungkapkan, bahwa pembangunan Food Estate di Merauke, Papua Selatan, mendorong terjadinya deforestasi besar-besaran. Tidak tanggung-tanggung, dalam kurun waktu setahun terakhir, rusaknya hutan di Papua Selatan meningkat lebih 2 kali lipat menjadi 190 ribu hektar (2022-2023) atau hampir setara 3 kalinya luas DKI Jakarta.
Food Estate menjadi driver of deforestation karena dibangun di atas hutan alam dan dilakukan dengan cara merusak hutan Papua.
Juru Kampanye FWI, Anggi Prayoga menegaskan, Papua bukanlah tanah kosong. Segala macam jenis proyek termasuk Food Estate yang masuk ke Papua haruslah mendapatkan pengakuan dan persetujuan dari masyarakat adat Papua melalui Persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan (Padiatapa).
“Prinsip ini dapat menjamin keberlanjutan sumber daya alam dan hak-hak masyarakat adat Papua tetap terpenuhi. Setidaknya lebih dari 24 komunitas adat bergantung terhadap hutan di Papua Selatan.” kata Anggi.
Sementara itu Celios mengusulkan langkah konkret untuk mengindari gelombang deforestasi termasuk pengembangan produk ekonomi restoratif yang memanfaatkan keanekaragaman hayati tanpa merusak hutan. Pendekatan ini tidak hanya mendukung pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menciptakan peluang kerja hijau yang mendukung masyarakat lokal.
Studi Celios menyoroti bahwa menjaga hutan dan mengembangkan ekonomi restoratif adalah solusi yang lebih berkelanjutan. Dengan pendekatan ini, kontribusi emisi global Indonesia dapat ditekan menjadi hanya 1-2 persen, sekaligus menjadikan Indonesia sebagai penyangga strategis penyerapan karbon global.
Celios menegaskan, solusi berbasis restorasi lingkungan lebih sejalan dengan visi pembangunan berkelanjutan dan target iklim Indonesia. Selain itu, model ekonomi restoratif juga memperkuat ketahanan pangan dari sumber yang berkelanjutan.
Dikhawatirkan jika terus mengabaikan dampak lingkungan dalam pembangunan, Indonesia berisiko tidak hanya kehilangan reputasi global, tetapi juga mengalami kerugian ekonomi yang lebih besar dalam jangka panjang.
Saat ini, pembukaan lahan secara masif sudah mulai dilakukan di Papua Selatan. Mengingat implikasi serius dari proyek ini terhadap emisi karbon dan masa depan iklim, Celios pun merekomendasikan penghentian kebijakan Food Estate di Merauke.
“Pemerintah perlu mengeksplorasi solusi ekonomi yang lebih berkelanjutan berbasis komunitas yang mampu memberikan manfaat ekonomi tanpa mengorbankan hutan dan ekosistem penting di kawasan tersebut,” sebut Celios.
Tinggalkan Balasan
Anda Harus Login untuk berkomentar. Belum Punya Akun ? Daftar Gratis