Keadaan Memaksa Harus Bisa

Wirinus Magi, terlihat sedang memantau cabe yang ditanami di pekarangan rumah
Wirinus Magi, terlihat sedang memantau cabe yang ditanami di pekarangan rumah

Di Kampung Mulia Kencana SP7, Distrik Iwaka, tampak di salah satu pekarangan milik warga terlihat hamparan tanaman cabai berjenis shypoon yang ditanam dengan konsep greenhouse.

Disana, seorang pria sedang sibuk merawat tanaman cabe tersebut. Pria itu adalah Wirinus Magi yang merupakan putra asli suku Wano, Kabupaten Puncak Jaya.
Saat ditemui, ia terlihat sangat bahagia. Pasalnya 500 pohon cabe yang ditanam kini sudah bisa dipanen, berbekal ilmu tani yang disalurkan oleh Binmas Noken Polres Mimika, kini dalam seminggu ia bisa memanen sampai tiga kali.

“Awalnya saya hanya bisa tanam petatas, keladi, gedi tapi sekarang sudah bisa tanam cabe, jahe juga sudah panen,” kata Wirinus.
Memang awalnya ia merasa agak kesulitan dalam menanam, namun selalu dibina akhirnya bisa,”Sekarang banyak yang ikut saya tanam, ada yang tanam sayur kangkung, sawi dan bayam, ada juga tanam padi dan jahe,” jelas Wirinus.

Dulu, ia masih tergabung dengan Sembilan teman lainnya dalam bentuk kelompok, namun kini sudah bisa mandiri dan mengerti cara menanam cabe.

“Pemda memang pernah bantu tapi tidak tiap hari bina kaya bapa Binmas Noken, menurut saya, bagaimana kami mau mandiri kalau pemerintah tidak dekat, kami mau pemda dekat ajar tanam, tenaga kami kuat jadi kami bisa,” kata Wirinus.

Selain Wirinus di SP7, ada juga John Murib yang kini mahir menanam padi, cabe dan jahe. Lainnya adalah Etinus Wenda yang menanam sayuran jangka pendek seperti kangkung, sawi dan bayam.

Jika ada motivasi dan keinginan yang kuat, semua bisa dijalankan meskipun banyak tantangan. “Melihat orang lain bisa, mengapa kita tidak bisa ? Kenapa orang lain bisa maju secara ekonomi, sementara orang Papua tidak bisa ? saya mau berbisnis seperti yang lain,” itulah motivasi sederhana dari Ferdinand Chondy seorang putra Papua asli Sarmi-Papua

Memilih berhenti dari pekerjaannya di sebuah lembaga adalah hal yang sulit, membuat ia harus berusaha mengalahkan mental agar bisa menjadi pengusaha mini market. Hingga dua tahun berjalan, akhirnya mampu membeli dua unit motor dan menginventasi tanah senilai ratusan juta.

Ia masih terus belajar mengatur dengan baik omset dan laba,semua dijalankan dengan tekun, membedakan antara produktif dan konsumtif hingga akhirnya Ferdinand membuktikan dirinya mampu menjadi pelaku bisnis.

“Tantangan yang terberat dari orang berbisinis adalah mental, karena banyak yang harus dikorbankan, ini tantangan berat ganggu di mental, tapi apapun itu saya sudah ambil keputusan harus komitmen,” kata Ferdinand.

 

Ferdinand Chondy saat berada di mini market miliknya

 

Ini juga bisa dilakukan oleh seorang perempuan asli Amungme, Maria Elisabeth Tsolme. Memanfaatkan hasil dari profesinya sebagai PNS dan suami adalah Karyawan PT.Freeport Indonesia, ia membangun dua cabang usaha salon khusus sambung rambut dan kini merambah ke usaha mini market.

Sambung rambut ini memang sudah menjadi fashion orang Papua dan menjadi keahlian yang tidak perlu lagi kursus. Elisabeth kini pekerjakan 7 karyawan asli Papua.

 

Maria di Salon anyam rambut miliknya

 

Elisabeth mengatakan, Orang Papua prinsipnya bukan dilahirkan sebagai pedagang yang individualis. Hal ini karena kebanyakan orang Papua terikat dengan kuatnya kekerabatan.

Sampai saat ini juga Elisabeth mengaku masih terkendala sosial yang tinggi. Pasalnya ia tidak bisa menawarkan diskon kepada pelanggan karena diskonnya sudah harus ada untuk saudara-saudaranya.

“Saya tidak bisa kasih diskon. Karena ekonomi saya selalu turun naik karena sosial. Apalagi kalau saudara sakit, saudara kecelakaan kita harus keluarkan terus. Lebih banyak yang keluar dari pada pemasukan. Kita kalah di bisnis karena jiwa sosial kita, tapi mau tidak mau harus berusaha,” ujarnya.

Motivasi yang menjadi penguat adalah ingin membuktikan bahwa ia bisa tanpa harus meminta kepada Pemerintah, PTFI, YPMAK tapi menggunakan modal sendiri.

“Saya mau tunjukan bahwa tanpa kalian saya bisa. Dan akhirnya saya bisa buktikan itu memang keuangan sangat rumit tapi saya mempertahankan satu prinsip bahwa saya bisa, kenapa saya harus beli dari kios lain, saya juga bisa,”katanya.

Menurutnya kehadiran orang pendatang juga bisa membuatnya termotivasi karena ia tidak ingin melihat sesuatu dari sisi buruk.

“Saya ingin kita sesama OAP juga harus saling support, jangan ada iri atau gengsi, meskipun kita tidak terlahir dari pedagang yang hebat tapi kita juga bisa, kalau menumbuhkan gengsi dan saling benci maka tidak akan maju,” kata Elisabeth.

Ia juga berharap agar sesuatu yang Tuhan sudah berikan untuk orang Papua seperti mahir anyam noken, pinang, dan menganyam rambut termasuk dengan ukir dan sagu bisa dikembangkan oleh OAP dan terus dilestarikan.

Maria berfoto di mini market miliknya

 

Pendampingan Bukan Jawaban

Veronika Kusumaryati, Antropologi lulusan Harvard AS mengatakan kehadiran perusahaan Freeport banyak mengubah kondisi dan status Orang Asli Papua. Dari kedatangan pertama tahun 1967 dan operasi sekitar tahun 1973 Freeport telah mengambil tanah-tanah masyarakat adat Amungme dan Kamoro seizin pemerintah Indonesia sehingga jelas ini berdampak pada penghidupan kedua suku ini.

Kebanyakan karyawan datang dari bagian barat Indonesia jadi yang banyak mendapatkan keuntungan dari operasi ini lebih banyak orang luar (bukan orang asli).
Terakhir, Freeport melakukan banyak program di Corporate Social Responsibility) (CSR) seperti beasiswa untuk 7 suku di wilayah konsesi Freeport.

Secara umum, kegiatan Freeport memungkinkan pertumbuhan ekonomi yang cepat di Timika. Sektor tambang banyak menyumbang untuk PDRB Papua.

“Tetapi harus ditanyakan apakah sumbangan ekonomi ini sudah didistribusikan ke masyarakat, terutama yang terkena dampak operasi tambang. Melihat indikator pembangunan OAP yang masih rendah bisa dikatakan bahwa sumbangan perusahaan tambang seperti Freeport tidak meningkatkan status ekonomi kebanyakan OAP ‘mungkin’ hanya sekelompok elit OAP dan orang luar Papua,” katanya.

Veronika mengungkapkan, sektor ekonomi masyarakat asli selama ini tidak dibangun kapasitasnya. Persoalan di Mimika sangat kompleks dan sampai sekarang model pembangunan ekonomi di Timika belum berpihak pada pemain kecil seperti OAP.

“Saya kurang yakin apakah negara dan perusahaan berkomitmen melakukan politik redistribusi sumber daya ketika proses konsentrasi kekuatan dan kekayaan masih pada segelintir orang,” ujarnya.

Di Mimika berbagai kelompok suku yang ada di Papua, ada kelompok suku mendiami area gunung, ada juga area pantai. Orang gunung punya tradisi pertanian.

“Jadi mereka sebenarnya biasa melakukan pertanian ini yang menjadi masalah kan tanah mereka diambil oleh perusahaan jadi mereka sudah tidak bisa lagi mempraktekan pertanian mereka.Kemudian dari Pantai, suku Kamoro sebenarnya bukan berburu dan meramu tapi lebih ke nelayan. Selama ini mereka memiliki dusun sagu, sungai sungai yang menyediakan ikan sebagian dirusak oleh tailing perusahaan,” jelas Vero.

Jadi menurutnya ini persoalannya bukan masyarakat Papua bisa menyesuaikan diri atau tidak, namun terjadi perubahan yang sangat besar, radikal dalam kehidupan mereka dan pendampingan bukan jawaban dari perubahan yang sangat radikal dari masyarakat Papua asli.

Menurutnya, memang solusinya harus dipahami dulu apa yang sebenarnya terjadi didalam kehidupan masyarakat asli Mimika.
“Ini yang menurut saya menjadi masalah ketika CSR, program-program pemerintah itu hanya omong soal pendampingan tapi belum memahami apa yang sebenarnya terjadi dalam hidup mereka, mental mereka,” ujarnya.

Jadi memang kata Veronika, tidak ada solusi yang tepat kecuali memahami dengan cara melakukan penelitian antropologi tentang apa yang sudah terjadi dan bersama sama dengan masyarakat untuk melihat kedepan.

“Jadi menurut saya kata pendampingan terlalu sederhana untuk memecahkan persoalan yang besar ini. Pada kenyataannya ekonomi Timika sudah berubah, masyarakat asli papua sudah termarginalkan. Tidak lagi menguasai sumber daya dan ruang hidup mereka. Ruang hidup mereka kan sekarang ada di perusahaan, pemerintah dan pendatang,” katanya.

Jadi hal tersebut perlu dipahami oleh semua pihak, jadi corporasi atau masyarakat pendatang atau pemerintah terlalu terburu buru mencari solusi sementara persoalan sendiri itu belum dipahami

Kata dia, pemerataan ekonomi ini mensyaratkan suatu perubahan kebijakan yang sangat radikal tentang konsep keadilan, kelestarian, “Dan saya mempertanyakan apakah Freeport,pendatang, dan pemerintah ini punya komitmen untuk itu, kalau dia tidak punya komitmen untuk pelestarian, keadilan, yah susah, mau bicara soal apapun, dengan berbagai pendekatan, kesejahteraan, tidak ada artinya. Karena persoalan dasarnya tidak dipahami,” ungkapnya.

Kontekstual Berbasis Kebudayaan

Cahyo Pamungkas, dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Lipi) mengatakan, dasar atau praktek OAP berbeda, mereka kebanyakan masih berdasar pada sistem pertukaran, memberi dan menerima. Tanah itu bagi mereka tidak dibeli, tapi diserahkan. Dan mereka bersifat komunal, yang satu akan menanggung yang lain.

“Jadi mereka tidak mengenal keluarga inti yang harus diprioritaskan. Kalau ada uang, itu akan habis dipakai bersama, sebab untuk bertahan di alam, mereka terbiasa membangun sistem sosial yang begitu erat. Selain karena, mereka memang sangat dekat dengan alam, hidup dari alam. Jadi uang bukan ukuran kesejahteraan.” kata Cahyo.

Ia menjelaskan, OAP tidak menolak pembangunan, hanya saja butuh
pemahaman yang baik terutama dari sisi tradisi, agar tidak terjadi kesalahan dalam pembangunan, sehingga OAP memang benar-benar bisa merasakan manfaatnya.

“Sebenarnya pembangunan di Mimika tidak jauh berbeda, rencana strategis pembangunan kampung, program dana kampung itu sama di seluruh Papua. Ada desa mandiri, listrik membangun, desa pintar, cuma berbagai program itu, sejauh ini bisa dikatakan belum berhasil.” Katanya.

Korelasi ekonomi yang erat, bagi OAP tidak selalu mendesak sebab pendekatan yang dilakukan harus tetap kontekstual berbasis kebudayaan. Akan sulit bagi OAP mengikuti sistem pendidikan yang selama ini diterapkan.

“Mereka harus dikembalikan ke alam, sembari edukasi by praktek,” jelas Cahyo.

OAP memiliki seperangkat kearifan lokal, yang sekarang mulai punah dan harus dihidupkan sebagai pintu masuk untuk mendorong pendidikan. Hal ini penting. Sebab mereka, usai mengalami sejarah yang panjang, dan telah meninggalkan tanah, digusur. Cahyo menilai OAP mengalami disorintasi.

“Mereka misalnya memiliki daun-daun tanaman obat. Kita dukung dengan riset khasiat apa yang dikandung tanaman tersebut dan bagaimana digunakan untuk kesehatan. Tidak bisa kita paksakan dengan obat-obatan baru yang asing bagi mereka.” katanya.

Selan itu, ia pun menyarankan semua konsep harus dibangun dengan nilai kebudayaan.”Misalnya setiap sebulan sekali ada pertemuan dan dialog mendalam antara Bupati, masyarakat adat baik Amungme, kamoro juga suku kekerabatan lain, juga dari gereja tentang apa yang menjadi kebutuhan masyarakat bagaimana nenecahkan persoalan pembangunan,” Pungkasnya.

Harapan

Melihat kondisi kehidupan ekonomi orang Amungme dahulu dan sekarang, Menuel John Magal menyampaikan ungkapan kesedihannya. “Jauh sekali saya benar benar sedih, karena saya sudah mengalami dua jaman ini, sebelum dan sekarang. Orang orang amungme yang tadinya nenek moyang mereka itu penakluk sekarang orang orang yang menyerah,” ujarnya.

Menurutnya, hal tersebut karena kehadiran Freeport sehingga menjadi gampang sekali mendapatkan pekerjaan, uang yang besar sehingga membuat semua benar-benar tidak bisa beraktifitas sehebat dulu. Begitupun melalui pemerintah.

“Makanya mentalitas masyarakat saya ini tidak tahu butuh berapa waktu untuk merubah mentalitas ini, mentalitas segala hal bisa dapat dengan mudah,” katanya.

Sekarang kata Menuel sebenarnya mau mendapatkan alat tukar itu gampang tapi karena kebanyakan dari masyarakat-nya belum memiliki gambaran mengenai keterampilan, pendidikan, pengalaman untuk berbisnis dan untuk usaha kegiatan poerekonomian yang modern.

“Jadi alami bentukan modern sehingga ini semacam mengalami satu benturan budaya yang tradisional serba bisa akhirnya mau coba begini tidak bisa mau coba itu tidak bisa. Mereka sendiri susah dan langsung menyerah jadi tidak berdaya begitu,” ujarnya.

Sebenarnya, untuk menjadi pengusaha orang Papua juga bisa hanya saja harus melalui proposal, analisis bisnis mendalam akhirnya membuat mereka selalu mempunyai pemikiran bahwa mereka ‘tidak bisa’. “Oh saya tidak bisa, itu selalu ada didalam sini (otak) dan didukung lagi dengan gampang dapat duit akhirnya motivasi untuk kerja keras itu sudah tidak ada,” ungkapnya.

Menuel yang kini menjalankan Yayasan Generasi Amungme Bangkit (GAB) ini mengatakan antropologo orang Amungme bukan berbisnis namun mereka bercocok tanam dan beternak untuk itu harus ada orang yang mengetahui kelebihan dan kekurangan masyarakat Amungme sehingga perekonomiannya bisa terkontrol.

“Kalau tidak, bisa termakan jaman. Tidak heran di Timika namanya berdagang di pasar itu produk modern dikuasai pendatang karena masyarakat sendiri punya keterbatasan, mereka tidak punya jalur distribusi kalau mereka punya jalur distribusi harus punya komunikasi sampai di Ambon, Makasar, Surabaya, Jakarta harus mulai dari sana lalu datangkan barang tapi kemampuan itu tidak ada,” ujarnya.

Kemudian tempat penjualan masyarakat asli ditanah, di pinggir jalan sementara para pendatang memiliki pemahaman perlu membuka toko yang besar dan lainnya. Menuel mengatakan dengan sendirinya, masyarakat asli akan termarginalkan karena tidak bisa berkompetisi.

Ia mencoba membuat sebuah toko yang pekerjanya adalah Mama-mama Papua yang diajar dengan memutar sesuatu dari yang nilainya kecil, namun masih terkendala dengan sistim kekerabatan.

“Saya sudah bangun dan bina dan semua itu terkontrol sudah bagus, namun saat datang hari raya, modal bisnis mereka langsung pakai habis. Ada saudaranya masalah langsung uangnya pakai, itu manjadi tantangan juga. Memang saya juga sadari bahwa antropologi mereka bukan berdagang tapi tidak ada salahnya jaman menuntut kita,” kata Menuel.

Kelemahan lainnya adalah modal ada niat yang tinggi tapi tidak punya modal jadi ‘garuk kepala’. Ia pun sedikit mengkritisi Bank Nasional yang ada di Papua yang menurutnya tidak bisa kerja keras untuk memajukan ekonomi OAP.

“Bank bank Nasional kalau tidak mau kasih kredit ke orang Papua, ngapain hadir disini. Bank bank juga jangan diskriminatif. Harus permudah segala bidang. Peran bank Nasional harus kerja keras. Kalau tidak angkat kaki saja lebih baik swasta yang punya hati,” tegasnya.

Kebanyakan pekerjaan mama-mama Amungme pada dasarnya adalah bercocok tanam, namun hingga kini, menurutnya peran PTFI belum maksimal karena belum sepenuhnya mengambil hasil bumi dari OAP.

“Coba Kasih vendor nya orang asli jadi mama mama tidak perlu jualan di pasar habis itu taro sampai sore bahkan tiak laku, besoknya sudah tidak bisa jual apalagi sayur akhirnya jadi makanan babi jangan sampai seperti itu harus betul betul misalnya hasil Bumi aksih kepercayaan orang Amungme, sementara hasil Laut kasih Kamoro supaya ada keberpihakan,” katanya.

Kemudian tugas Pemda adalah mendampingi OAP dan perlu kerja keras dengan APBD yang menginjak 4 Triliun menurutnya pembangunan ekonomi harus ada bagi OAP. Karena selama ini, pembangunan ekonomi terlihat hanya didalam kota sementara di Distrik Pegunungan dan Pesisir tidak ada kegiatan ekonomi yang berarti.

“Kesulitan itu yang dihadapi. Di sini pemda harus benar benar kerja keras, pemerataan harus dilakukan sehingga ada kegitan ekonomi dimana mana. Pemda harus dongkrak supaya ekonomi bisa menyentuh akar rumput,” ujarnya.

Mengenai kedatangan orang luar Papua dan sukses di Mimika bagi Menuel tidak menjadi masalah karena menurutnya dunia sekarang modern, tidak eksklusif hanya satu suku saja, dunia sudah global dan masyarakat pun perlu adaptasi dengan pendatang.

Namun, menurutnya pihak pendatang pun harus bisa mengerti, biarlah apa yang bersentuhan dengan alam di Mimika menjadi hak OAP.

Menurut Menuel, pemda harus berikan proteksi karena proteksi itu yang penting supaya bisa ajari kemampuan berkompetisi dengan pendatang.

“Ada ‘pendatang yang bernafsu mau merebut semua peluang, pemerintah harus beritahu mengingatkan tidak boleh begini,” katanya.

Misalnya penjualan kayu Pemda harus kerja keras tidak boleh kasih orang dari luar percayakan orang asli, yang diinginkan OAP adalah segala sesuatu yang dari alam seperti pinang, ikan, sagu dan segala sesuatu dari tanah adat harus orang adat yang kelola.

“Pemda harus kerja keras berani proteksi untuk ini. Kalau tidak pemda juga tidak ada gunanya. Saya rindu masyarakat bisa menikmati hidup seperti dahulu, bisnisnya merdeka. Sekalipun ada pendatang semua berjalan lancar dan harus merdeka dan bagaimana caranya harus ada regulasi,” pungkasnya.

Marianus Maknaipeku, tokoh Kamoro mengatakan semua dinamika ekonomi Orang Asli Papua yang patut disoroti adalah Dinas terkait. Dimana menurutnya tidak ada niatan dari dinas seperti Disperindag maupun Dinas Koperasi untuk bisa mengangkat masyarakat kecil menjadi bisa.

Ia meyakini, orang Kamoro pasti bisa saja, namun menurutnya belum ada pendampingan yang intens untuk menyelesaikan masalah ekonomi perdagangan yang dihadapi oleh masyarakat Papua.

“Kami punya sagu ada, ikan juga, tapi pendampingan belum ada, yang terjadi kami diberikan kebutuhan lalu ditinggalkan tanpa ada pendampingan terus menerus. Ekonomi tidak berkembang lama-lama semakin miskin bukan membaik,” ujarnya.

Mengenai kehadiran OAP, Marianus mengatakan menjadi hal yang wajar jika mereka berdagang dan memang mereka mempunyai ilmu perdagangan. “Kerja keras namanya saja orang merantau harus kerja keras, kami menerima apapun yang menjadi hak semua orang,” katanya.

Namun, menurutnya para pendatang luar Papua hingga kini memang belum ada keterlibatan untuk memberikan kontribusi seperti melatih atau ikut memajukan ekonomi perdagangan dengan OAP.

“Contoh kecil di Pomako. Sekarang nelayan nusantara yang kuasai, orang asli tidak ada. Batas hak adat mereka ambil semua,” ujarnya.

Yang menjadi persoalan adalah tidak adanya satu produk hukum atau regulasi khusus yang berpihak kepada hak berdagang yang berpihak kepada OAP demi peningkatan ekonomi OAP.

“Pinang, kelapa, sagu semua ke pendatang, bagaimana kita mau merdeka dalam ekonomi ? karena tekanan ekonomi semakin tinggi mereka bertahan dikampung mereka akan tertinggal bagaimana mereka bisa bersaing,” ujarnya.

Menurutnya,suku Kamoro sesungguhnya ingin memiliki kemampuan namun karena tidak pernah diberikan kesempatan misalnya seperti binaan nelayan yang baik.

“Malahan nelayan ditumpangi pihak ketiga untuk melaut, dibiayai pengusaha lalu melaut. Nelayan nusantara juga banyak yang melaut. Lama-lama nelayan Kamoro juga akan hilang karena tekanan pihak lain,” katanya.

Untuk itu ia berharap keterlibatan dan regulasi yang berpihak kepada suku asli Mimika harus bisa dikaji dengan baik. “Jika itu dibiarkan, akan terus begini,” pungkasnya. (Tamat)

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Seputar Papua. Mari bergabung di Grup Telegram “Seputarpapua.com News”, caranya klik link https://t.me/seputarpapua , kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

JADWAL IMSAKIYAH KAB.MIMIKA
TANGGALIMSAKSUBUHZUHURASARMAGRIBISYA
18/03/202404:3204:4212:0415:1018:0719:15
19/03/202404:3204:4212:0415:1018:0719:15
20/03/202404:3204:4212:0315:1018:0619:14
21/03/202404:3204:4212:0315:1118:0619:14
22/03/202404:3204:4212:0315:1118:0619:14
23/03/202404:3204:4212:0215:1118:0519:13
24/03/202404:3104:4112:0215:1118:0519:13
25/03/202404:3104:4112:0215:1118:0419:12
26/03/202404:3104:4112:0215:1218:0419:12
27/03/202404:3104:4112:0115:1218:0319:12
28/03/202404:3104:4112:0115:1218:0319:11
29/03/202404:3004:4012:0115:1218:0219:11
30/03/202404:3004:4012:0015:1218:0219:10
31/03/202404:3004:4012:0015:1218:0219:10
01/04/202404:3004:4012:0015:1318:0119:10
02/04/202404:3004:4011:5915:1318:0119:09
03/04/202404:2904:3911:5915:1318:0019:09
04/04/202404:2904:3911:5915:1318:0019:08
05/04/202404:2904:3911:5915:1318:0019:08
06/04/202404:2904:3911:5815:1317:5919:08
07/04/202404:2904:3911:5815:1317:5919:07
08/04/202404:2804:3811:5815:1317:5819:07
09/04/202404:2804:3811:5715:1317:5819:07

KONTEN PROMOSI