Mati lemasnya ini yang pihaknya menduga, kemungkinan besar korban ini dianiaya sampai lemas, kemudian dibawa ke TKP, lalu sengaja ditekan lehernya ke tali.
“Cuma penyidik tidak punya alat bukti yang kuat untuk menetapkan orang jadi tersangka. Jadi kami ikuti, karena dokter juga manusia, kita juga manusia nanti urusannya ke Tuhan. Nanti Tuhan yang melihat hal ini. Kami akan tetap cari bukti baru dalam kasus ini,” ungkap Valen.
Senada dengan Valen, Yosep Tomorubun yang juga kuasa hukum keluarga menambahkan, penyidik dalam gelar perkara ini menggunakan dasar pidana umum, yakni Pasal 351 ayat (3) KUHP (penganiayaan yang menyebabkan kematian), dan Pasal 338 KUHP (pembunuhan).
Menurut kajian pihaknya, dasar dua pasal ini tidak tepat. Seharusnya, penyidik menggunakan Undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
“Di dalam Pasal 5 disitu dikatakan bahwa ada kekerasan fisik, non psikis dan kekerasan seksual. Kalau acuannya itu, maka dua unsur kekerasan fisik dan psikis terpenuhi. Sehingga, untuk pidananya bisa dikenakan Pasal 44 UU nomor 23 tahun 2004,” kata Yosep.
Lebih jauh Yosep menerangkan, penyidik seharusnya menerapkan Undang-undang tersebut. Ini karena mereka berdua adalah suami istri dan menikah secara catatan sipil.
Kecuali kalau keduanya tidak menikah secara catatan sipil, maka bisa digunakan pidana umum Pasal 351 KUHP dan Pasal 338 KUHP.
“Di kasus ini, ada serangkaian adegan yang diperagakan dalam ruangan dan ada saksi fakta, yakni mama korban, yang melihat suami korban mencekik leher korban. Dengan demikian, unsur dalam Undang-undang KDRT terpenuhi,” terangnya.
Tinggalkan Balasan