Ia dulu berjualan di Pasar Lama (Pasar Swadaya Lama) bersama Mama-mama Papua lainnya. Tapi mereka terjaring penertiban lalu dipaksa pindah ke Pasar Sentral Timika.
“Kami diusir dari pasar lama. Di pasar lama itu lancar. Banyak orang. Memang mereka lebih suka datang (membeli) di sana,” kata dia.
Pasar tradisional gorong-gorong dan pasar lama sebenarnya jauh lebih memberi harapan bagi pedagang Mama-mama Papua. Tapi karena upaya penataan kota oleh pemerintah, Bernarda tak bisa menolak direlokasi.
“Dulu di pasar lama kita bisa dapat 300-400 ribu rupiah per hari. Di sini syukur kalo dapat (untung) 50 ribu. Biasa paling banyak 200 ribu,” kisahnya.
Jika sedang benar-benar sepi pembeli, Bernarda dapat untung yang hanya cukup buat membeli beras satu kilogram. Tapi, Ia tetap bersyukur anak cucunya bisa makan walau hanya nasi kosong tanpa lauk pauk.
“Kadang cuma dapat untuk beli beras saja satu cangkir (satu kilo). Kalau saya tidak dapat apa-apa, terpaksa saya pulang bawa sagu saja. Saya bilang, sagu itu kita punya (makanan pokok) jadi makan saja,” katanya.
Kadang-kadang, anak cucu Bernarda bilang kalau mereka bosan juga makan sagu. Makanya, Ia biasa sesekali buat sinole (olahan sagu dicampur parutan kelapa). Tapi, anak-anak tetap cari nasi lagi.
“Biasanya pagi beli beras, malam beli lagi untuk anak-anak dan cucu-cucu. Saya bilang, beras masak sudah, makan nasi kosong saja tidak apa-apa,” tuturnya.
Tinggalkan Balasan