Kisah Sukses Putra Asli Mimika: Mampu Kirim 4 Ton Sayur Segar ke Freeport

Octo Magay
Octo Magay di tengah-tengah tanaman hidroponiknya yang terletak di Kawasan SP-3, Distrik Kuala Kencana, Mimika. (Foto: Yonri Revolt/Seputarpapua)

“Mari adik, sini. Jangan di situ saja. Lihat ini tanaman yang masih tunas.”
Senyum merekah pada wajah Octo Magay (40) kala menyambut penulis di kebunnya pada 23 April 2020.

Seorang karyawan PT Freeport Indonesia Octo Magay, putra asli Papua kini berhasil mengembangkan usaha perkebunan hidroponik di SP-3, Distrik Kuala Kencana, Kabupaten Mimika. Kisah suksesnya ini berawal dari ketertarikannya terhadap dunia perkebunan hidroponik yang dilihatnya di internet.

“Saya coba rintis kebun ini pada tahun 2013. Saya belajar sendiri, saya lihat dari internet di Jawa sana orang tanam begini, perawatannya begitu, saya lalu ikuti. Saya mencoba hidroponik, sebab kalau berkebun cara tradisional, akan membutuhkan tempat yang luas dan butuh tenaga yang ekstra untuk menanganinya,” ungkapnya.

Diakui Octo, pada masa awal perintisan kebun yang terletak di Jalan SP 3 Distrik Kuala Kencana tersebut, dirinya sempat mengalami banyak kegagalan. Tidak sedikit uang yang dikeluarkan sebagai modal meski tidak sedikit pula tanaman yang gagal panen.

“Tidak bisa panen waktu itu, kita buang saja. Itu tidak bisa kita makan, karena ada juga yang busuk. Tapi lebih sulit karena tidak bisa dipasarkan,” curhat Octo.

Bukan main, hampir lima tahun sudah kegagalan dialami Octo dalam merintis perkebunan itu. Karena frustasi, Octo sempat berpikir untuk mengakhiri usahanya yang tidak kunjung sukses.

Keberuntungan mulai menghampiri Octo hingga ia kembali bangkit. Pada tahun 2018, beberapa orang dari PT Freeport Indonesia mendatangi kebunnya. Octo mulai menyampaikan keluhannya kepada utusan tersebut guna diteruskan kepada pihak manajemen.

“Jadi tahun itu, kami dapat dorongan dan dukungan dari PT Freeport Indonesia. Mereka bukakan jalan untuk dapat pasaran. Sambil mereka juga berbagi ilmu tanaman hidroponik. Makanya saya terima kasih sekali dengan PT Freeport ini, saya sudah gagal waktu itu tapi mereka tidak mau lepas saya,” cerita Octo kepada penulis di bawah pohon jambu di kebunnya, diwaktu sore yang teduh.

Seperti kata Sastrawan Winston Churchill bahwa keberhasilan adalah kemampuan untuk melewati dan mengatasi satu kegagalan ke kegagalan berikutnya tanpa kehilangan semangat. Demikianlah Octo yang tidak menyerah pada keterpurukannya, berusaha terus bangkit.

Pertengahan 2018, dengan usahanya itu, hasil perkebunan hidroponiknya tembus dan menjadi pemasok bahan sayuran segar di PT Pangan Sari Utama yang menangani konsumsi bagi karyawan Freeport, kontraktor dan privatisasi.

“Apalagi awal tahun 2020 itu, saya untung besar. Kalau panen bagus, setiap bulan itu kita bisa kirim empat ton,” bangga Octo.

Saat ini, Octo mampu mensuplai bahan pokok sayuran segar berupa sayuran segar bayam, selada air, kangkung dan sawi. Perkebunan hidroponik yang menggunakan metode paralon tersebut, saat ini memiliki 60.000 lobang yang tentunya setiap isinya adalah tunas-tunas yang setiap bulan berkeuntungan besar.

Perkebunan hidroponik milik Octo Magay kini telah berkembang dan sudah menjadi perusahaan dengan nama PT. Namul Jaya Sejahtera. Jumlah karyawannya pun kini sudah mulai bertambah. 30 orang bekerja di perkebunan hidroponik, 15 diantaranya adalah karyawan perempuan serta 20 orang pada bagian gudang dan pengiriman, jadi total karyawannya berjumlah 50 orang.

Dalam menjalankan bisnis usaha perkebunan hidroponiknya, Octo mengaku juga bekerjasama dengan petani-petani lokal dari SP-2, SP-5, SP-7 dan Irigasi.

Octo tidak pernah berhenti bermimpi dan berusaha, saat ini dirinya bahkan sedang mempersiapkan lahan untuk membuka dan mengembangkan perkebunan hidroponik yang baru.

“Saat ini saya baru bisa untuk melayani kebutuhan di Freeport saja, melalui PT. Pangan Sari Utama, namun kedepannya saya akan berusaha untuk menjawab kebutuhan sayuran di Timika atau bahkan keluar daerah seperti di gunung-gunung sana,” pungkasnya.

Pekerjakan Karyawan Tanpa Keahlian

Sukses dalam bercocok tanam dan menjadi pengusaha ulung, tidak lantas membuat Octo Magay tinggi hati. Octo senang membantu orang kesusahan yang baru datang dari kampung di pedalaman bahkan memberi mereka pekerjaan.

“Saya tidak mau dipanggil bos. Kalau masih muda panggil kakak saja. Atau bapak atau ipar. Karena kita semua ini teman, kita sama saja, toh,” kata Octo sambil senyum kepada penulis.

Octo bahkan tidak menuntut orang-orang tersebut untuk mempunyai skill di kala mereka baru masuk bekerja. Bagi Octo, belajar merupakan proses sama seperti dirinya dulu yang jatuh bangun dalam berusaha.

“Rata-rata mereka tidak punya basic perkebunan, pertanian. Tidak punya pendidikan juga ada. Ada beberapa Mama-Mama itu tidak sekolah. Intinya, yang pakai KTP, datang melamar langsung kerja,” tarang Octo.

Setelah masuk bekerja, dijelaskannya, para pekerja mulai dibina pelan-pelan hingga mampu bekerja sendiri. Bahkan kini, para pekerja sudah bisa menularkan pengetahuannya ke pekerja yang lain. Setiap bulannya, para pekerja ini digaji dengan standar upah minimum regional (UMR).

“Saya senang. Tapi yang bikin saya senang itu, mereka sudah berhasil, sudah punya penghasilan sendiri, sudah bisa beli ini-itu. Saya ikut senang,”ujarnya.

Kami masih duduk berbincang di bawah pohon jambu ketika para pekerja sudah selesai dengan aktivitasnya. Melihat penulis dan Octo bercerita, mereka kemudian ikut bergabung. Octo memanggil mereka lebih mendekat agar ikut terlibat dalam obrolan. Waktu itu kira-kira pukul 16.00 WIT sore.

“Emina sini, jangan di situ duduk. Sini ikut cerita. Kasih tahu dia kau punya pengalaman dulu. Kasih tahu yang jujur ya. Apa adanya saja, jangan tipu-tipu. Kalau saya jelek kasih tahu saja,” kaOcto kepada seorang Mama yang kemudian diketahui penulis bernama Emina Kogoya (35).

Emina Kogoya

Emina Kogoya yang aslinya berasal dari dataran tinggi Gunung Nemangkawi, sudah empat tahun menjadi karyawan di kebun yang awalnya asing baginya.

“Saya punya kebun di belakang situ, dulu. Waktu itu sore, saya pikul noken hasil kebun. Lalu kakak (Octo) ini lihat saya. Dia tawari kerja,” kisah janda empat anak ini.

Emina yang punya tekad dan jiwa pekerja keras ini terbiasa dengan menanam di tanah – tidak dengan metode hidroponik, awalnya merasa canggung. Namun berjalannya waktu, bagi Emina menanam di dalam lubang pipa yang dialiri air ini sudah bukan perkara sulit.

“Dari hasil kerja, saya kasih sekolah anak-anak. Di rumah itu ada babi dalam lima petak kandang. Saya beli lagi dua ekor babi kemarin,” ujar Emina, bangga. Sebab bagi suku-suku di Pegunungan Papua, babi merupakan harta yang sewaktu-waktu dipakai dalam prosesi adat istiadat.

Di samping Emina, ada juga Bapak-bapak yang dulu pernah bekerja di area Freeport sebagai kontraktor atau privatisasi. Para bapak yang kebingungan mencari aktivitas di masa pensiun ini pun akhirnya bekerja di perkebunan Octo.

Seorang karyawan yang bernama Ambarak Fimbay yang juga mantan karyawan Freeport yang telah bekerja selam 30 tahun di Portsite, kini bekerja di perkebunan hidroponik Octo Magay mengaku merasa senang bisa bergabung di perkebunan ini.

“Saya senang sekali kerja di sini, daripada tinggal di rumah duduk diam, lebih baik kerja di sini, badan tetap sehat.” Kata Ambarak Fimbay.

Dalam merekrut karyawannya, Octo Magay merangkul semua masyarakat tidak membeda-bedakan suku dan agama. Ada orang Jawa, orang Papua dan beberapa suku lainnya berbaur dalam satu aktivitas bercocok tanam. Saat ini di perkebunannya ada 8 orang pensiunan dari kontraktor PTFI, dan menurut para pensiunan karyawan ini, mereka merasa beruntung bisa diterima bekerja di perkebunan hidroponik Octo Magay.

penulis : Mujiono, Yonri
editor : Mish

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Seputar Papua. Mari bergabung di Grup Telegram “Seputarpapua.com News”, caranya klik link https://t.me/seputarpapua , kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *