Gobay menerangkan, berdasarkan fakta aksi anti rasisme 19 Agustus 2019, bukan hanya Victor Yeimo yang berorasi. Menurutnya, banyak pihak yang ikut orasi seperti tokoh perempuan, tokoh agama, tokoh pemuda dan lainnya.
Selain itu, lanjut dia, aksi tersebut juga dihadiri oleh Gubernur Papua, Ketua MRP, Anggota DPRP, beberapa kepala SKPD dan juga masyarakat asli Papua mau pun non Papua.
“Ketua tim penyidik tidak banyak memberikan komentar atas pertanyaan (Victor Yeimo) itu, namun hanya mengatakan bahwa dirinya dan tim hanya menjalankan tugas,” ucap Gobay.
Koalisi HAM Papua berpendapat, jika atas dasar aksi tersebut Victor diadili, maka pejabat dan para tokoh yang hadir mestinya ikut ditangkap demi mewujudkan prinsip persamaan di depan hukum.
“Jangan hanya Viktor Yeimo yang ditangkap, tapi tangkap juga para pejabat yang hadir dalam aksi anti rasisme di Kantor Gubernur Provinsi Papua itu,” sambung dia.
Penangkapan
Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua menilai, penangkapan terhadap Victor Yeimo dilakukan tanpa mengikuti prosedur penangkapan yang diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
“Victor ditangkap pada Pukul 19:00 WIT tanggal 9 Mei 2021, sementara surat penangkapan dan penahanan baru diterima oleh Koalisi pada Pukul 18:00 WIT tanggal 10 Mei 2021 di ruang penyidik Provost Mako Brimob,” kata Gobay.
Menurut Gobay, selain adanya ketimpangan penegakan hukum antara pelaku rasisme dan ‘pejuang anti rasisme’ itu, Koalisi menemukan keganjilan dalam proses penyidikan dan penyelidikan pemenuhan bantuan hukum terhadap Viktor Yeimo tidak berjalan maksimal.
“Karena Koalisi tidak mendampingi Viktor Yeimo langsung, padahal bukan hanya Pasal 106 KUHP atau pasal makar saja yang dituduhkan kepadanya. Namun ada Pasal 170 ayat (1) KUHP, dimana dalam prosesnya kuasa hukum dapat mendampingi kliennya,” kata dia.
Tinggalkan Balasan