TIMIKA | Konflik bersenjata antara TNI/Polri dengan TPNPB-OPM di Tembagapura membuat ribuan warga masyarakat adat dievakuasi ke wilayah Kota Timika dan sekitarnya pada Maret 2020.
Pemkab Mimika mencatat sekitar 1.700-an pengungsi, sementara data dari masyarakat adat menyebut total 2.114 jiwa. Mereka dibawa ke Timika dalam beberapa kali gelombang evakuasi pada 2-8 Maret 2019.
Hingga Juli 2020, atau sekitar 4 bulan sudah mereka meninggalkan kampung halaman. Mereka tersebar di sekitar Mile 32, SP 2, Jalan Baru, sebagian bergantung kepada keluarga di Timika, dan tinggal di rumah kost.
Warga masyarakat asli Papua yang mendiami lereng pegunungan dekat tambang emas PT. Freeport Indonesia, telah mendirikan posko korban evakuasi di Jalan Baru (Jalan C Heautubun), Timika, Senin (13/7).
Martina Narkiin, Tokoh Perempuan Amungin (Amungme) yang juga di antara para korban, mengatakan mereka mayoritas berasal dari wilayah adat Waa, yang terdiri atas kaum perempuan, laki-laki lansia, dan sejumlah berstatus janda maupun duda.
Ia menyesalkan, pada awal gelombang evakuasi mereka disambut berbagai pihak termasuk pemerintah daerah di posko pengungsian Mile 32. Namun, seiring waktu selama 3 bulan terakhir mereka seolah dibiarkan begitu saja.
“Kami sudah trauma dengan konflik bersenjata, ditambah lagi Covid-19 yang membuat kami semakin menderita,” kata Martina di posko korban evakuasi, Selasa (14/7).
Martina dan mama-mama lainnya benar-benar gusar dalam ketidakpastian kapan akan dikembalikan ke kampung halaman, rumah dimana mereka hidup dengan alam mereka.
“Kami tidak tahu mau bawa kemana suara kami. Kami punya tanah, emas, dan kekayaan alam, namun kenyataan itu berbanding terbalik dengan situasi kami,” katanya.
- Tag :
- Pengungsi Tembagapura,
- tni/polri,
- TPNPB-OPM