Selanjutnya, PT PAL sudah mengambil kayu ribuan kubik dan hanya melaporkan kepada pemilik hak ulayat dan dinas
terkait sekitar 25 kubik per hektar. Padahal potensi kayu bisa mencapai 80-100 kubik per hektar.
Ini dilakukan PT PAL, untuk menghindari pembayaran PSDH atau PSDR ke Negara. Serta menghindar dari pembayaran fee ke pemilik ulayat, sesuai Pergub Papua yang berlaku.
Selain itu, kata Ratna bahwa sesuai surat perjanjian antara PT PAL dan Koperasi Buh Bau Yamane/Masyarakat Iwaka nomor 074/HR-GA/PT.PALIV-2013 dan nomor 001-SPK/KOP-BBY/WK-KK/IV/2013 tentang pembangunan kelapa sawit pola kemitraan (kebun Plasma), PT PAL berkewajiban mendirikan pabrik pengolahan TBS menjadi CPO. Namun sampai sekarang PT PAL belum mendirikan pabrik yang dimaksud.
“Karena pabrik belum didirikan, tentu merugikan kami koperasi dan masyarakat Iwaka. Dikarenakan hasil kebun plasma kami tidak terbeli. Dan ini kami juga gugat wanprestasi di Pengadilan Negeri Timika,” katanya.
“Pada Juni 2020 lalu kami ingin bermusyawarah terkait pendirian pabrik dan kelanjutan PT PAL, tapi GM PT PAL tidak mau bermusyawarah dengan masyarakat,” ujarnya.
Dari itu semua, pihaknya datang ke DPRD Mimika sebagai wakil rakyat untuk memfasilitasi dan menjembatani permasalahan ini.
Kalau perlu DPRD Mimika membentuk Pansus, karena masyarakat Iwaka yang notabene orang asli Papua, sudah dirugikan oleh PT PAL.
“Kepada siapa lagi kami meminta bantuan dan keadilan selain kepada yang terhormat Anggota DPRD dan Pemerinta Kabupaten Mimika. Dan kami harap ada audiensi, sehingga kami bisa membuktikan sesuai data yang ada,” tuturnya.
Reporter: Mujiono
Editor: Aditra
- Tag :
- DPRD Mimika,
- Iwaka,
- Kabupaten Mimika,
- Pemilik Ulayat,
- PT PAL
Tinggalkan Balasan