Oleh: Prof. Dr. Murpin J. Sembiring, M.Si
Pembahasan mengenai Politik identitas masih menjadi isu baru di Indonesia. Walaupun pada dasarnya aspek-aspek tersebut telah ada sejak lama, efek yang ditinggalkan baru dirasakan belum lama ini. Apalagi ketika bentuk politik identitas digunakan sebagai ajang mencari massa oleh para pemangku kepentingan. Dalam hal ini, para elite politik menggunakan kesamaan suku, agama, ras dan etnik untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat.
Berangkat dari pemilihan gubernur DKI Jakarta pada 2017 lalu, dapat kita pahami bahwa imbas dari adanya politik identitas ini begitu hebat. Efek langsung dari peristiwa tersebut tentu saja sangat terasa ketika masa pemilu presiden 2019. Dalam peristiwa tersebut, begitu banyak isu bernuansa politik identitas yang beredar di masyarakat, terutama melalui sosial media. Dimana hal itu tentu saja berbahaya karena berpotensi menggiring opini masyarakat.
Stasiun televisi nasional di Jawa Timur dengan program Rumah Demokrasi mengangkat tema tentang ‘Waspada Identitas Politik’ dengan pembawa acaranya Winda Gisela dan menghadirkan narasumber salah satunya adalah Rektor Universitas Ma Chung, Prof. Dr. Murpin Josua Sembiring, SE., M.Si.
Winda Gisela selaku pembawa acara membuka acara dengan menyampaikan sekilas tentang politik identitas “kita tahu bahwa politik identitas menjadi suatu hal yang banyak digunakan oleh partai politik dan elite politik dengan strategi untuk mendulang suara, kesamaan etnis, suku, agama selalu digunakan untuk mendapat dukungan dari masyarakat, apakah sebenarnya politik identitas harus kita waspadai saat pemilu 2024? Hal inilah yang akan menjadi pembahasan dengan narasumber di program Rumah Demokrasi”.
Dalam kesempatan ini, Prof. Dr. Murpin Josua Sembiring, SE., M.Si menyampaikan bahwa identitas berupa sosok seseorang dengan suku, agama atau identitas lainnya sangat penting sebagai pencitraan. Namun, apabila identitas tersebut dikelola secara sengaja dan ada unsur politisasi untuk kepentingan pribadi, kelompok partai dalam rangka strategi untuk kemenangan pemilu merupakan hal yang perlu diwaspadai.
Populisme pada politik identitas sangat potensi ditumpangi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab ingin memecahbelah persatuan indonesia. Tugas bagi bangsa ini adalah meminimalisir bahkan menghilangkan politik identitas yang bersifat negatif.
Indikasi-indikasi yang muncul akibat politik identitas harus langsung ditangani. Selain itu, masyarakat harus diberikan pemahaman mengenai elite politik dan oknum tokoh agama agar memanfaatkan perbedaan suku, agama, ras menjadi politik identitas.
Politik identitas berbasis agama yang digunakan dalam kampanye politik juga akan menciptakan jurang pemisah antar kelompok umat beragama di Indonesia.
Kuatnya tekanan dari kelompok agama radikal di Indonesia secara tidak langsung akan memberikan dampak buruk bagi pemeluk agama yang lain. Pemeluk agama minoritas akan merasa didiskriminasi, sehingga akan memunculkan perpecahan antar umat beragama.
Belajar dari pengalaman pemilu serentak 2019, tidak menutup kemungkinan bahwa isu-isu itu akan kembali muncul dalam pemilu tahun 2024 mendatang. Peristiwa yang lalu memiliki kesempatan besar untuk terus digaungkan oleh kelompok radikal demi keuntungan pribadi.
Kondisi aktual kehidupan politik kebangsaan saat ini telah mendorong kesadaran semua pihak untuk melakukan upaya nyata, penegasan dan peningkatan pemahaman kembali nilai-nilai kebhinekkaan dalam bingkai Pancasila sebagai dasar Negara, karena berdasarkan sejarah bangsa Indonesia, telah terbukti bahwa Pancasila adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia yang memberikan kekuatan hidup kepada bangsa Indonesia.
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang besar, bangsa yang plural, dan bangsa yang memiliki kemampuan serta daya tahan untuk menjaga keharmonisan dalam keberagaman suku, bangsa, bahasa, adat istiadat dan agama melalui semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Dialektika tentang komitmen dasar berbangsa yang satu telah dilakukan secara elegan melalui pendekatan rasionalitas dan emosionalitas, bahkan spiritualitas (kajian dan perenungan agama melalui ritualitas para ulama dan agamawan) bersama-sama para pemikir dan pejuang kemerdekaan.
Keanekaragaman identitas suku bangsa, etnis, agama, hingga adat istiadat, adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa, namun bisa menjadi potensi persoalan jika perbedaan di dalamnya tidak berhasil dikanalisasi dalam satu prinsip dasar kebangsaan yang mampu menjadi pijakan hidup bersama dalam suatu negara bangsa yaitu NKRI (Indonesia untuk semua).
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa digali dari nilai-nilai luhur kebangsaan yang hidup, tumbuh dan berkembang pada akar kebudayaan suku suku bangsa yang mendiami Nusantara dan telah disepakati menjadi pondasi dasar berdirinya NKRI.
Pancasila merupakan dialektika dari sistem dan konsep kebangsaan yang ada dalam sejarah dunia (demokrasi ala barat ‘liberalisme’, negara agama, monarki, juga sosialisme).
Semua harus merasa memiliki Pancasila, tidak ada sekat-sekat SARA, dukungan politik, bahkan dalam posisi sebagai ‘pengusa’ (rezim pemerintahan) pun bukan lagi penafsir tunggal atas Pancasila.
Politik identitas seharusnya dapat dilebur menjadi politik kebangsaan, politik negara yang tidak lagi mengedepankan egoisme sektoral, egoisme kelompok, egoisme partikularistik karena politik kebangsaan, politik kenegaraan, dan politik nasionalisme yang berdasarkan Pancasila sebagai ideologi negara merupakan pengejawantahan dari politik kebhinnekaan yang didalamnya terikat keragaman tapi untuk kesatuan.
Oleh karena itu, dibutuhkan kesepakatan untuk memastikan bahwa Indonesia adalah milik bersama, menghapus prinsip dominasi atas apapun, kesetaraan dalam kemanusiaan, keamanan dan kesejahteraan umum bagi semua orang, kedamaian atas prinsip tepo seliro yang didasarkan kepada ideologi Pancasila yang akan memayungi keragaman dalam politik kebangsaan dan politik kenegaraan bagi seluruh warga negara tanpa ada labelisasi yang bernuansa SARA. Politik identitas mengancam persatuan dan kesatuan NKRI. Politik kebangsaan Pancasila yang bersifat multikultur secara konseptual memiliki makna sebagai anti tesis dari praktik politik identitas yang bersifat partikularistik.
Untuk pemilu mendatang kita membutuhkan sosok calon-calon pemimpin yang melakukan metamorfosa dari politik identitas menjadi politik kebangsaan. Sebagai negara yang multikultural serta demokratis, sudah sepantasnya semua masyarakat memiliki kesetaraan hak dalam pemilu.
Tidak hanya orang Jawa yang bisa menjadi pemimpin negara, orang luar Jawa juga bisa. Tidak hanya orang islam saja yang bisa menjadi pemimpin negara, orang non-islam juga bisa. Dalam artian bahwa hak seseorang untuk menjadi pemimpin atau wakil rakyat tidak didasarkan pada suku, agama, ras, atau etnik semata, tapi lebih kepada kemampuan orang-orang itu untuk memimpin dan mengayomi masyarakat.
Akankah politik identitas menjelang pemilu 2024 bermetamorfosa menjadi politik kebangsaan? Hal ini bisa terjadi asalkan adanya kesadaran dari seluruh aspek pelaku politik yang mementingkan nilai-nilai kebhinekaan dalam bingkai Pancasila sebagai dasar Negara.
Penulis merupakan Rektor Universitas Ma Chung Malang dan juga Mantan Ketua DPD Mapancas (Mahasiswa Pancasila) Jawa Timur.
(Opini adalah pendapat atau gagasan penulis. Keseluruhan konten menjadi tanggungjawab penulis)
- Tag :
- Opini
Tinggalkan Balasan
Anda Harus Login untuk berkomentar. Belum Punya Akun ? Daftar Gratis