Ia menegaskan, jurnalis yang melaksanakan tugas jurnalistik dilindungi UU Pers, apalagi dalam hal ini melaksanakan peliputan pada kegiatan perguruan tinggi yang merupakan badan publik.
“Lembaga pendidikan adalah badan publik, dia harus terbuka. Tidak boleh seakan-akan kita masih berada di era sebelum reformasi. Apa pun yang berkaitan dengan pelayanan publik itu mestinya terbuka,” tandasnya.
Dilansir Harianpapuanews.com, Ketua STIE JB Tharsisius Pabendon, beralasan bahwa insiden pengusiran tersebut dilakukan karena ingin kesakralan prosesi wisuda tidak terganggu oleh wartawan.
“Kita mau acara wisuda yang sakral ini tidak terganggu oleh lalu lalang wartawan yang mau foto atau merekam,” katanya.
Ia juga berdalih, undangan acara wusuda kepada sejumlah media, itu ditujukan kepada pimpinan media masing-masing, bukan kepada wartawan untuk melakukan peliputan.
Sayangnya, dalam undangan tersebut tidak disertai dengan penjelasan atau setidaknya catatan bahwa acara tersebut tidak untuk diliput, atau disiarkan kepada publik.
“Yang kita undang itu pimpinan media, bukan wartawan karena memang tidak untuk diliput, karena kami sudah tunjuk orang khusus untuk foto dan liput,” timpalnya.
Santise Patabang, wartawati SKH Radar Timika yang mengalami insiden pengusiran itu mengatakan, Ia diusir ketika acara memasuki sesi sambutan Kepala LLDIKTI Wilayah XIV Papua dan Papua Barat.
“Saat saya sedang merekam sambutan, seorang dosen menghampiri saya dan menanyakan identitas, lalu menyuruh saya keluar dari tempat wisuda, meski pun saya berusaha menjelaskan kalau saya hadir karena ada undangan,” katanya, demikian dilansir Radartimikaonline.com.
Santise juga mengatakan, oknum dosen itu melakukan pengusiran dengan arogan, terlebih kepada seorang wartawati.
“Dari mana? Sudah ada konfirmasi untuk merekam ini? Tidak ada kan? Silahkan keluar (sambil menunjukkan pintu keluar dengan kasar),” kata Santise menirukan kata-kata oknum dosen tersebut.
Tinggalkan Balasan