NABIRE | Penjabat (Pj) Gubernur Papua Tengah, Ribka Haluk memimpin proses perdamaian konflik antar dua kelompok masyarakat soal tapal batas adat yang terjadi di Kampung Topo, Distrik Uwapa, Kabupaten Nabire sejak 5 Juni 2023.
Perdamaian para pihak ini digelar di Aula Wicaksana Leghawa Polres Nabire, Kamis (14/12/2023) yang dihadiri masing-masing kepala suku yang sebelumnya terlibat pertikaian.
Ribka Haluk dalam kesempatan itu mengatakan, setelah tujuh bulan berkonflik, pada akhirnya tiga belah pihak bermufakat untuk berdamai. Perdamaian ini menjadi kebahagian bagi semua pihak, khususnya Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua Tengah dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Nabire bersama aparat TNI-Polri setempat.
“Puji Tuhan konflik di Topo selesai. Ketiganya sudah saling menerima berdamai dan akan hidup rukun. Kita tentu bahagia, apalagi ini sudah memasuki bulan natal. Saya pikir perdamaian ini menjadi kado natal yang indah bagi masyarakat,” kata Ribka Haluk.
Setelah perdamaian yang difasilitasi pemerintah ini terwujud, selanjutnya masyarakat Mee, Dani dan Wate akan melakukan acara perdamaian dalam sukunya masing-masing. Ribka berharap apa yang telah terjadi di Topo menjadi pelajaran bagi seluruh masyarakat yang ada di Papua Tengah.
“Konflik berkepanjangan seperti ini tidak boleh lagi terjadi. Kalau ada masalah, saya harap segera diatasi dengan baik, kita pemerintah ada di sini, bahkan ada aparat kepolisian atau pihak-pihak yang berkompeten. Jadi tidak boleh lagi masalah diselesaikan dengan cara fisik hingga terjadi pertumpahan darah,” harapnya.
Adapun berita acara perjanjian perdamaian terdapat lima poin kesepakatan. Pertama, bersepakat bahwa atas hak ulayat antara suku Wate dan suku Mee adalah Bukit Rindu. Kedua, bersepakat bahwa pelepasan tanah adat seluas 1.000 x 3.000 meter persegi di Distrik Uwapa, Kabupaten Nabire, merupakan milik dari saudara Ishak Talenggen.
Ketiga, bersepakat bahwa wilayah pendulangan Km 64, Km 74, Km 80 dan Km 86 merupakan tanah milik suku Mee, dan oleh siapa pun ingin beraktivitas mencari kayu atau emas harus mendapat persetujuan dari suku Mee. Keempat, bersepakat untuk menerima uang perdamaian sebesar Rp2,3 miliar yang diperuntukkan melaksanakan acara perdamaian sesuai dengan kearifan lokal. Kelima, bersepakat bahwa dengan ditandatanganinya surat perjanjian damai ini, permasalahan suku Mee, Dani dan Wate selesai.
Sementara Penjabat (Pj) Sekda Provinsi Papua Tengah, Anwar Harun Damanik juga mengatakan, dengan adanya perdamaian ini maka tanggap darurat konflik Topo ditutup. Ia berharap konflik seperti itu tidak terulang kembali, dan masyarakat kembali hidup rukun saling bergandengan tangan membangun daerah.
Pemerintah dan Tiga Suku Deklarasi Damai
Dalam kesempatan itu Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) Provinsi Papua Tengah, Drs. Thephilus Lukas Ayomi turut membacakan deklarasi damai yang diikuti seluruh perwakilan baik pemerintah dan tiga suku besar Mee, Dani dan Wate.
Berikut isi deklarasi damai yang diucapkan oleh para pihak:
Kami Masyarakat Kampung Kepala Air Topo dengan Masyarakat Kampung Topo, Distrik Uwapa, Kabupaten Nabire, Provinsi Papua Tengah menyatakan:
1) Kami bersepakat damai dan tidak akan bertikai kembali serta menyatakan konflik telah selesai.
2) Kami sepakat menjalin persaudaraan sebagai Mlmasyarakat adat di tanah Papua.
3) Kami bersepakat menjaga toleransi kekerabatan dan kerukunan untuk hidup berdampingan.
4) Kami berjanji akan menjaga kamtibmas tetap aman, damai dan kondusif di wilayah Kabupaten Nabire.
Prosesi ini kemudian dilanjutkan dengan penyerahan dana perdamaian dari Pemprov Papua Tengah dan Pemkab Nabire kepada perwakilan dari suku Mee, Dani dan Wate.
Tinggalkan Balasan
Anda Harus Login untuk berkomentar. Belum Punya Akun ? Daftar Gratis