Pastor Amandus fokus pada poin pertama menyangkut masalah rasisme. Ia berangkat dari kasus pemicunya di Surabaya pada 16 Agustus 2019. Mahasiswa Papua diteriaki monyet oleh beberapa orang.
“Coba dengan kepala dingin dan akal sehat, renungkan. Kalau lah orang Papua itu monyet, maka konsekuensinya sangat dasyat. Saya mengikuti dan saya mencatat isi facebook dari seorang anak Papua,” katanya.
Ia mohon agar umat non Papua tidak tersinggung soal tulisan anak Papua yang dikutipnya ini. Bahwa kalau mahasiswa Papua itu monyet, artinya monyet cari ilmu di Surabaya, monyet cari ilmu di Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Sumatra, dan Maluku.
“Sementara manusia Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, datang mencari makan di tempat monyet. Membaca ini saya malu,” kata Amandus.
Menurutnya, orang waras pasti malu disebut cari makan di tempat monyet. Maka dalam kasus ini, dapat disebut “nila setitik merusak susu sebelanga. Mulut satu orang, beberapa orang di Surabaya, merusak susu sebelanga Jawa, orang pendatang”.
“Lebih malu mana, monyet cari ilmu di tempat manusia, atau manusia cari makan di tempat monyet. Sekali lagi jangan tersinggung, ini konsekuensi logis sebuah ucapan rasis,” katanya.
Pemerintah
Terkait kasus tersebut, Pastor Amandus menyapa pemerintah. Dimana pemerintah di pusat maupun di daerah mengeluarkan dana begitu besar untuk membangun jalan, pendidikan, kesehatan, di Papua.
Tinggalkan Balasan