Tiga Hari Rela Tidur di Emperan Toko Demi Jualan Ukiran Kamoro, Belum ada yang Beli

Petrus Taniyu (kiri), Wenseslaus Maurita - Ngamel (tengah) berfoto bersama di depan toko yang digunakan untuk berjualan dan tidur, Rabu (6/10/2021). (Foto: Kristin Rejang/Seputarpapua)
Petrus Taniyu (kiri), Wenseslaus Maurita - Ngamel (tengah) berfoto bersama di depan toko yang digunakan untuk berjualan dan tidur, Rabu (6/10/2021). (Foto: Kristin Rejang/Seputarpapua)

TIMIKA | Masyarakat Asli Suku Kamoro, kelompok sanggar ukiran ‘Tikiri’ dari Pomako, Distrik Mimika Timur, Kabupaten Mimika rela tidur di emperan toko untuk menjajakan hasil ukiran kayu dan rajutan tas serta cinderamata lainnya dalam acara PON XX Papua 2021.

Suku Kamoro adalah salah satu suku yang tinggal di wilayah pesisir selatan Papua, Kabupaten Mimika, Papua, yang membentang dari Sungai Otakwa di sisi timur hingga mendekati Potowai Buru di sisi barat.

Kelompok yang terdiri dari beberapa orang Bapak – bapak dan Ibu – Ibu ini sudah menginap selama tiga hari di sebuah emperan toko di Perempatan Jalan Yos Sudarso, Pasar Lama, Kota Timika, Ibu Kota Kabupaten Mimika.

Tempat yang digunakan untuk menjual hasil kerajinan tangan, yang juga digunakan untuk tidur adalah sebuah teras toko yang sudah lama tidak difungsikan, terlihat sangat kotor dan tidak layak ditempati masyarakat untuk tidur.

“Kami sudah tiga hari, tidur di sini, makan juga tanggung sendiri, selama tiga hari belum ada yang beli,” jelas ketua kelompok, Petrus Taniyu kepada Seputarpapua.com, Rabu (6/10/2021).

Dijelaskan ia dan rekan-rekannya berpikiran akan ada tempat yang disediakan oleh Pemda untuk menampung hasil ukiran selama PON berlangsung, ternyata apa yang dipikirkan tidak sesuai, sehingga mereka memilih untuk tinggal sementara di teras toko tersebut dan berharap akan ada yang membeli.

“Kami harap bisa ada yang beli karena kami ongkos sewa truk dari Pomako ke sini habis Rp 800 ribu, sekarang mau pulang kami bingung, jadi kami jual saja supaya bisa bawa uang pulang,” kata Petrus.

Sementara itu, Wenseslaus Maurita – Ngamel yang merupakan wakil kelompok menjelaskan, sebelum PON ia sempat ikut kegiatan yang diselenggarakan oleh Bidang Pemasaran di Hotel Cenderawasih 66, namun ia tidak mendapatkan kejelasan.

“Kami tidak pikirkan itu, yang kami pikir bagaimana supaya bisa ada tempat untuk kami jual hasil karya ini,” ujarnya.

Dijelaskan ukiran yang dijual adalah Oemawe atau orang-orangan, Yamate atau hiasan berbentuk tameng yang diukir dari kayu, ukiran burung taun-taun, Aneka tas khas suku kamoro yang terbuat dari pohon waru.

“Kalau oemawe dan ukiran lainnya harganya berkisar 1,5 juta, ada 1 Juta, ada juga 300 ribu tapi bisa ada penawaran juga, kalau tas anyaman ada yang harga 100 ribu, 200 ada juga yang murah Rp50 ribu saja,” katanya.

Wenseslaus berharap bisa ada perhatian dari pemerintah untuk memperkenalkan budaya asli suku Kamoro lewat orang asli suku Kamoro mengingat PON diselenggarakan di Tanah Mimika.

“Ini Tanah Mimika, Tanah Kamoro juga, kami harap pemerintah juga bisa perhatikan kami, kasih ruang untuk kami bisa perkenalkan ukiran – ukiran ini,” harapnya.

Selain itu, ia juga berharap ada bantuan pahat, dan alat lainnya untuk mengukir juga membantu mengajari mereka bagaimana cara memasarkan hasil karya mereka.

Namun, Wenseslaus mengatakan dalam waktu dekat ada petunjuk bahwa mereka akan ditempatkan di area pasar lama sehingga ia berharap apa yang dikatakan pemerintah bisa benar-benar dilaksanakan.

“Pemerintah bilang dalam waktu dekat mau kasih kami tempat di pasar lama, mereka lagi buat tempat semoga benar kami juga diizikan ada tempat layak untuk jual,” pungkasnya.

penulis : Kristin Rejang
editor : Mish

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Seputar Papua. Mari bergabung di Grup Telegram “Seputarpapua.com News”, caranya klik link https://t.me/seputarpapua , kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *