Di samping itu, lanjut dia, pihaknya ingin agar Presiden tahu bahwa ada kondisi warga sipil di Intan Jaya yang trauma dan ketakutan akibat keberadaan TNI sebagai alat negara secara berlebihan di sejumlah tempat.
Terkait rekomendasi ke Komnas HAM soal penyelidikan pelanggaran HAM berat, menurut Haris, suatu hal wajar mengingat ini bukan saja sebuah peristiwa dadakan atau secara personal anggota terkait indisipliner, maupun tindak pidana di luar tugas operasinya.
“Tetapi kami mendapati suatu rangkaian peristiwa ketika TNI merespon kejadian. Sebenarnya TNI sendiri anggotanya terbunuh dalam peristiwa saling tembak. Tetapi responnya justru ke masyarakat. Ada juga tuduhan ke masyarakat,” sebut dia.
Tim Kemanusiaan memotret serangkaian peristiwa pada 17 dan 19 September, serta menemukan fakta bahwa serangan (OPM) terhadap anggota TNI, terdapat respon balik yang justru dibebankan kepada warga sipil di Hitadipa.
“Kami menemukan, kenapa kok responnya justru ke warga sipil. Menuduh dan meminta warga sipil mencari pelaku penembakan terhadap anggota TNI pada 17 September,” kata Haris.
Sementara rekomendasi ke Gubernur Papua, kata dia, karena adanya kondisi yang sangat urgen sehingga dibutuhkan respon atau melakukan pemulihan sementara terhadap para warga yang mengungsi.
“Menurut saya, ini tidak bisa ditunda-tunda. Saya pikir wajar berbagai peran pusat dan daerah untuk merespon situasi ini,” jelas Haris.
Anggota Tim Kemanusiaan Intan Jaya Pdt. Dora Balubun mengatakan, akibat dari berbagai peristiwa kekerasan, sedikit demi sedikit masyarakat Distrik Hitadipa mengamankan diri keluar dari tempat tinggalnya. Puncaknya pada saat penembakan terhadap pendeta Yeremia.
“Sesaat setelah pendeta dikubur, pada sekitar pukul 11 siang 20 September 2020, masyarakat berbondong-bondong keluar ke hutan-hutan, ke sejumlah daerah lain daerah kabupaten tetangga,” katanya.
Tinggalkan Balasan