TIMIKA | Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya mengabulkan sebagian gugatan masa jabatan kepala daerah yang terpotong.
Dikutip dari situs resmi Mahkamah Konstitusi (MK) RI, Jumat (22/12/2023), disebutkan bahwa MK menyatakan ketentuan Pasal 201 ayat (5) Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Undang-undang Pilkada) inkonstitusional secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai “Gubernur dan Wakil Gubernur Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan dan pelantikan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023, dan Gubernur Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan tahun 2018 yang pelantikannya dilakukan tahun 2019, memegang masa jabatan selama 5 (lima) tahun, terhitung sejak tanggal pelantikan sepanjang tidak melewati 1 (satu) bulan sebelum diselenggarakannya pemungutan suara serentak secara nasional tahun 2024”.
Hal itu disampaikan oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra terhadap uji Undang-undang Pilkada (UU Pilkada) dalam sidang Pengucapan Putusan terhadap Perkara Nomor 143/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh tujuh kepala daerah yang mendalilkan Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada ini, digelar pada Kamis, 21 Desember 2023.
Adapun tujuh kepala daerah dimaksud yakni Gubernur Maluku Murad Ismail, Wakil Gubernur Jawa Timur Emil E. Dardak, Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto, Wakil Wali Kota Bogor Didie A. Rachim, Wali Kota Gorontalo Marten A. Taha, Wali Kota Padang Hendri Septa, dan Wali Kota Tarakan Khairul.
Lebih lanjut, Saldi menguraikan bahwa ketentuan Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada secara khusus dan norma transisi dalam ketentuan Pasal 201 UU Pilkada secara keseluruhan masih menyisakan persoalan bagi kepala daerah atau wakil kepala daerah yang terpilih dalam pemilihan 2018, namun baru dilantik pada 2019 karena masa jabatan kepala daerah sebelumnya baru berakhir pada tahun tersebut.
Lanjut Saldi, pada Pasal 201 ayat (4) UU Pilkada secara eksplisit menyatakan adanya kepala daerah/wakil kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada 2019 tidak diatur secara tersendiri dalam kaitannya dengan Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) UU Pilkada. Akibatnya, kepala daerah/wakil kepala daerah yang baru diantik pada 2019 seperti dipaksa mengikuti masa jabatan kepala daerah/wakil kepala daerah yang dilantik pada 2018. Padahal mereka (kepala daerah yang dilantik pada 2019) dilantik karena masa jabatan kepala daerah sebelumnya baru berakhir pada 2019.
Mahkamah, menurut Saldi, melihat ada kerugian konstitusional yang dialami oleh para Pemohon berupa pemotongan masa jabatannya yang bukan disebabkan oleh implementasi norma Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada, melainkan akibat kekosongan norma yang mengatur Pasal 201 ayat (5) dengan Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) UU Pilkada bagi kepala daerah/wakil kepala daerah yang dipilih pada 2018 dan baru dilantik pada 2019 karena menunggu berakhirnya masa jabatan kepala daerah/wakil kepala daerah sebelumnya.
Berdasarkan dalil para Pemohon terkait dengan ketentuan norma Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dapat dibenarkan. Namun sepanjang berkenaan dengan perhitungan masa jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan, sepanjang tidak melewati hari pemungutan suara serentak nasional 2024 sebagaimana yang dimohonkan para Pemohon dalam petitumnya, tidak dapat dipenuhi Mahkamah.
“Sebab, dibutuhkan waktu yang cukup untuk menunjuk pejabat kepala daerah agar tidak terjadi kekosongan jabatan kepala daerah/wakil kepala daerah yang berdasarkan penalaran yang wajar dan dipandang cukup yakni satu bulan sebelum hari H pemungutan suara serentak secara nasional yang diberlakukan bagi kepala daerah/wakil kepala daerah yang masa jabatannya berakhir 5 tahun sejak pelantikan,” jelas Saldi.
Dalam Amar Putusan yang dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo tersebut, Mahkamah menyatakan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian.
Mahkamah juga menyatakan Pasal 201 ayat (5) Pilkada yang semula menyatakan, “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023”, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan dan pelantikan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023 dan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2018 yang pelantikannya dilakukan tahun 2019 memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan sepanjang tidak melewati 1 (satu) bulan sebelum diselenggarakannya pemungutan suara serentak secara nasional tahun 2024”.
Sehingga, norma Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada selengkapnya menjadi menyatakan, ‘Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan dan pelantikan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023 dan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan Tahun 2018 yang pelantikannya dilakukan tahun 2019 memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan sepanjang tidak melewati 1 (satu) bulan sebelum diselenggarakannya pemungutan suara serentak secara nasional tahun 2024’.
Sementara itu, dalam putusan MK 143/PUU-XXI/2023, Bupati dan Wakil Bupati Mimika termasuk dalam Kepala Daerah yang dilantik pada tahun 2019, sementara pemungutan suara dilakukan di tahun 2018.
Tinggalkan Balasan
Anda Harus Login untuk berkomentar. Belum Punya Akun ? Daftar Gratis