TIMIKA | Kekosongan obat malaria yang terkadang terjadi di Papua, menurut Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Lucia Rizka Andalucia karena bahan dari obat itu diimpor dari luar negeri.
Hal itu disampaikan saat ditemui wartawan usai membuka Rakerkesda ke-II di Hotel Horison Diana, Mimika, Papua Tengah, Selasa (17/10/2023).
Meskipun begitu, Lucia mengungkapkan hal itu tidak hanya terjadi pada obat malaria, tetapi juga jenis obat lainnya.
Lucia menyebut, terkait obat malaria yang perlu dilakukan adalah melakukan perencanaan yang tepat, agar pengadaan di tingkat nasional lebih tepat jumlah dan waktunya.
“Memang benar, karena untuk obat malaria kita (Kementerian Kesehatan) 100 persen impor, untuk jenis obatnya DHP dan artesunat,” ungkapnya.
Pun begitu, menurut Lucia saat ini Kemenkes sedang mempersiapkan agar obat-obatan tersebut dapat diproduksi di Indonesia.
“Sehingga dapat disuplai ke masyarakat kita disini (Papua) dengan lebih cepat,” tegasnya.
Selain menuju kemandirian obat malaria, Lucia menjelaskan kedepan integrasi melalui sistem Satu Sehat, distribusi obat bisa dilacak dari Fasilitas Kesehatan (Faskes) hingga ke pasien.
“Jadi kita bisa tahu, puskesmas ini kosong, ini kosong, jumlahnya berapa, masyarakat yang butuh berapa, sehingga perencanaan kebutuhan obat lebih tepat,” jelasnya.
“Dengan perencanaan lebih tepat, maka pengadaan dan penyaluran lebih cepat,” imbuhnya.
Ditanya soal kapan kemandirian obat malaria akan terwujud, Lucia mengaku hal itu akan dicapai secara bertahap.
“Tahun 2023 ini sudah ada 24 bahan baku obat yang diproduksi, tahun 2024 ada tambahan lagi 28 yang bisa diproduksi, dan obat malaria masuk salah satu target (kemandirian),” tuturnya.
Lucia menambahkan, pengelola produksi obat secara mandiri dapat dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun pihak swasta yang berkecimpung di bidang farmasi.
Tinggalkan Balasan
Anda Harus Login untuk berkomentar. Belum Punya Akun ? Daftar Gratis