Bupati Puncak Minta Provokator Perang Adat Dihukum 30 Tahun

waktu baca 3 menit
Bupati Puncak Willem Wandik menyalami dua kelompok warga yang sepakat mengakhiri konflik di Kwamki Narama melalui pembayaran santunan para korban, Sabtu - Foto : Sevianto/SP

TIMIKA | Bupati Puncak, Papua, Willem Wandik bersama Polda Papua sukses memfasilitasi penyelesaian konflik antar warga di Distrik Kwamki Narama, Mimika, melalui prosesi pembayaran denda adat (bayar kepala), Sabtu (30/9/17).

Dua kelompok warga yang berdamai dan menerima pembayaran denda adat yaitu kelompok Atimus Komangal dan Hosea Ongomang. Kedua kelompok sempat terlibat perang suku beberapa bulan lalu, yang menimbulkan sejumlah korban jiwa.

Konflik di Kwamki Narama tak jarang melibatkan mayoritas warga asal Ilaga, Kabupaten Puncak, sehingga membuat Bupati Willem Wandik merasa paling bertanggung jawab dan harus turun tangan melakukan penyelesaian.

“Kami ada di sini, pemerintah Mimika hadir, itu membuktikan bahwa Mimika adalah bagian dari Puncak, dan Puncak adalah bagian dari Mimika,” kata Bupati Wandik di hadapan ratusan warga.

Wandik menegaskan, seringnya terjadi konflik di Kwamki Narama merupakan ulah dari oknum warga sebagai provokator yang melakukan tindak kriminalitas pembunuhan, lalu berujung aksi balas dendam melibatkan kelompok warga.

“Ini ulah dari prvokator yang terjadi. Bunuh orang di mana-mana, buang mayat dan memicu konflik terjadi. Saya kutuk orang orang itu. provokator adalah orang itu-itu saja,” ujarnya.

Menurut Wandik, kehadiran pemerintah memfasilitasi penyelesaian konflik dan memberikan santunan kepada para korban, bukan berarti bahwa pemerintah membiarkan konflik itu terus terjadi.

“Saya tidak mau terima ada profosal masuk di Ilaga soal masalah-masalah begini lagi. Saya klarifikasi bahwa saya tidak pernah membantu orang karena keprmetingan bayar denda. Saya tidak pernah permudah orang dalam hal ini,” tuturnya.

Ia meminta warga menanggalkan semua permasalahan dan menghentikan segala bentuk pertikaian di masyarakat. Sudah saatnya masyarakat Papua maju berkembang, bukan justru saling membantai satu sama lain.

“Tidak boleh lagi perang di sini. Kita punya beban luarbiasa dari masalah ini. Kita akan habis begini terus. Saya tidak pernah dukung perang adat. Tetapi saya dukung masyarakat yang mau maju jadi pejabat,” tegasnnya.

Wandik lantas meminta kepolisian agar menegakkan hukum positif bagi setiap pelaku yang dapat memicu terjadinya perang suku. Bahkan, dirinya berharap ada efek jera bagi pelaku dengan ganjaran hukum yang setinggi-tingginya.

“Saya minta pak Kapolda tangkap yang buat-buat perang. Proses hukum dan penjara selama 30 tahun. Jangan ada yang main-main, stop pakai bulu kasuari (atribut perang adat) itu,” tandasnya.

Adapun Pemerintah Kabupaten Puncak menggelontarkan anggaran sebesar Rp2,5 miliar sebagai santunan atau denda adat bagi para korban perang suku dari dua kelompok warga di Kwamki Narama.

Hadir dalam kegiatan tersebut para pejabat Polda Papua, yaitu Karo Ops  Kombes Pol Kharles Simanjuntak, Dirsabhara Kombes Pol Yan Frits Kaiway, Dirpamobvit Kombes Pol Adi Suseno, dan Kasat Brimob Kombes Pol Matias Fakiri.

Hadir pula Sekda Mimika Ausilius You, Kapolres Mimika AKBP Victor Dean Mackbon, jajaran anggota DPRD Mimika dan sejumlah anggota DPRD Puncak mendampingi Bupati Puncak Willem Wandik.

Kapolda Papua Irjen Pol Boy Rafli Amar berpesan melalui Karo Ops  Kombes Pol Kharles Simanjuntak, bahwa kepolisian sangat membutuhkan kerjasama pemerintah daerah dan seluruh tokoh adat dalam menghadapi berbagai dinamika di masyarakat.

“Kami punya keterbatasan terutama untuk permasalahan adat istiadat Papua yang cukup unik. Kami butuh bantuan dari seluruh elemen. Maka itu, kami sangat mengapresiasi adana proses peedamaian ini,” kata Kharles Simanjuntak.

Menurutnya, Indonesia adalah Negara hukum, sehingga diharapkan ke depan kepolisian sudah mulai perlahan-lahan memberlakukan hukum positif dalam peristiwa perang adat di Papua. Meski dilakukan penyelesian secara adat, tetapi pelaku pembunuhan tetap akan diproses hukum.

“Ini supaya masyarakat mengerti bahwa kita sebagai Negara hukum. Proses adat berjalan, tetapi juga proses hukum harus berjalan terhadap pelaku yang memicu terjadinya konflik (perang adat),” imbuhnya.

Untuk diketahui, konflik di Kwamki Narama, Mimika, pada bulan Juni sampai September 2016 menelan sekitar lima korban jiwa, puluhan luka-luka, hingga seratusan rumah dibakar. Ribuan warga Mimika sempat mengungsi ke Jayapura saat itu. (rum/SP)

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Seputar Papua. Mari bergabung di Grup Telegram “Seputarpapua.com News”, caranya klik link https://t.me/seputarpapua , kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Exit mobile version