Menyusuri Kampung yang Diduduki Kelompok Bersenjata Papua
TIMIKA | Belasan Jurnalis berkesempatan menelusuri kawasan perkampungan yang sempat diduduki kelompok bersenjata di Distrik Tembagapura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Para Jurnalis melakukan penelusuran hingga di lokasi kontak tembak di Kampung Opitawak, Jumat (6/4).
Kami bertolak dari Kota Tembagapura dengan kendaraan lapis baja. Namun ternyata kendaraan hanya bisa mengatar kami sampai di Kampung Longsoran, dekat Mapolsek Tembagapura. Jalanan terputus karena longsor. Kami harus turun dan berjalan kaki.
Dari titik inilah adrenalin mulai terpacu. Situasi di kawasan itu saat masih diduduki kelompok bersenjata seakan terbayang di depan mata. Dimana mereka sempat lalu lalang di jalanan itu dengan menenteng senjata api saat peristiwa “penyanderaan” warga sipil pada November 2017.
Rasa ingin tahu mendorong semangat kami untuk menyaksikan secara langsung bagaimana kondisi di lapangan pasca kontak tembak. Kami tidak ingin hanya membayangkan dari jauh tentang kondisi di sana, ini kesempatan sangat baik.
Dari Kampung Longsoran yang berjarak sekitar dua kilometer dari kawasan perkotaan Tembagapura, kami mulai berjalan kaki menuju kampung-kampung lainnya yang pernah diduduki oleh puluhan kelompok separatis menenteng senjata.
Kami menyusuri jalanan berbatu dan kerikil-kerikil tajam terasa menembus alas kaki. Pandangan mata pun tak lepas memantau tebing terjal di sekeliling kami. Rasa takut, was-was tetap menghantui jika sewaktu-waktu kelompok bersenjata ternyata mengintai dari balik perbukitan dan hutan belantara.
Perjalanan kami dikawal belasan pasukan TNI bersenjata lengkap dan memakai rompi anti peluru. Sedangkan kami tidak memakai pelindung apapun. Tapi prajurit TNI meyakinkan kami bahwa wilayah itu sudah benar-benar aman setelah mereka memukul mundur kelompok KKSB.
Setidaknya ada empat sampai enam prajurit berada sekitar 50 meter di depan kami, mereka dalam posisi membidik. Kemudian enam prajurit mengapit dari samping kiri kanan, dan lainnya menutup barisan rombongan dari belakang.
Gerimis ikut mewarnai perjalanan kami dan membuat petualangan unik itu semakin menantang dan amat menegangkan.
Warga asli setempat lalu lalang dengan membawa Noken berisi bahan makanan dari Tembagapura. Mereka tampak sangat ramah, mereka melambaikan tangan, menyampaikan salam, bahkan beberapa orang berhenti dan bersalaman dengan kami.
Ya, kami mulai benar-benar yakin bahwa kawasan itu sudah steril dari ancaman kelompok bersenjata yang belakangan meneror aparat keamanan dan warga di wilayah itu.
Berjalan kaki sekitar tujuh kilometer dalam situasi yang cukup menegangkan rupanya tidak terasa melelahkan. Langkah terus terpacu mengikuti irama para pasukan yang setia mengawal kami, memastikan kami tetap aman.
Kami beristerahat sejenak di Kampung Kimbeli, kampung ketiga yang ditemui. Di lokasi ini kami melihat sebuah bangunan berukuran cukup kecil, yang ternyata menjadi tempat menampung 300an warga yang “disandera” KKSB pada November 2017.
Kampung Kimbeli tak seramai tahun-tahun sebelumnya. Awalnya banyak kios-kios yang menjual berbagai bahan kebutuhan pokok berderet di sepanjang jalan. Saat ini kampung itu dihuni hanya beberapa kepala keluarga yang merupakan penduduk asli setempat.
Tak lagi ada keramaian para pendulang emas tradisional di bantaran Kali Kabur (Sungai Ajikwa), area pembuangan pasir sisa tambang PT Freeport Indonesia, mulai dari Kampung Longsoran (Utikini Lama) sampai di Kampung Banti dan Opitawak.
Semenjak wilayah itu sempat diduduki kelompok bersenjata, seluruh warga non Papua, baik pendulang maupun pelaku usaha kios dan warung makan di wilayah itu seluruhnya telah dievakuasi. Kawasan perkampungan itu pun tampak seperti sepi.
Tinggal Puing dan Reruntuhan
Dari Kampung Kimbeli, kami menyeberang ke Kampung Banti. Di sini kami ketemu cukup banyak anggota TNI-Polri bersenjata lengkap. Mereka ditempatkan khusus melakukan pengamanan setelah pasukan TNI memukul mundur kelompok bersenjata yang menduduki wilayah itu.
Di tempat inilah kelompok bersenjata membakar gedung SD dan SMP Negeri Banti, serta Rumah Sakit Waa Banti milik Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro (LPMAK), lembaga pengelola dana kemitraan PT Freeport Indonesia.
Bangunan sekolah dan rumah sakit itu kini hanya menyisahkan puing-puing dan reruntuhan sisa kebakaran. Seluruh fasilitas rumah sakit termasuk peralatan canggih laboratorium ludes terbakar.
Sedangkan gedung sekolah yang menjadi tempat menimba ilmu bagi ratusan generasi Papua mayoritas asal Suku Amungme juga rata dengan tanah. Kini hanya menyisahkan sebuah tangga besi dan sebuah tiang Bendera Merah Putih.
“Mereka (kelompok bersenjata) masuk dan tinggal berbaur dengan masyarakat. Mereka bakar sekolah dan rumah sakit. Jumlahnya banyak, kami tidak bisa hitung berapa banyak,” kata Pdt Hengki Magal, seorang Gembala Gereja yang merupakan warga asli setempat.
Tiarap Hindari Tembakan
Kami melanjutkan perjalanan ke Kampung Opitawak dengan menyeberangi sebuah jembatan gantung. Melihat ke bawah dari atas jembatan itu cukup mengerikan. Di bawah hanya ada bebatuan berukuran raksasa, celahnya dilalui limbah pekat dari pabrik pengolahan hasil tambang PT Freeport.
Butuh perjuangan yang cukup menguras tenaga untuk sampai di Kampung Opitawak, dimana kelompok bersenjata membakar sekitar 17 unit rumah warga. Kami harus mendaki tanjakan yang sangat menantang, apalagi di tengah cuaca dingin dengan kadar oksigen cukup tipis.
Setelah sampai di Gereja yang berdekatan dengan Paud Negeri Banti, kami membagi dua tim. Satu tim melanjutkan penelusuran ke lokasi pembakaran rumah, dan satu tim menunggu di halaman Gereja. Kami membagi tim mengingat medan untuk mencapai perkampungan itu cukup berat.
Tim yang naik ke Kampung Opitawak diikuti tiga orang Jurnalis bersama Komandan Brigif 20/IJK selaku Komandan Satuan Tugas TNI Kolonel Inf Frits Pelamonia, Asisten Operasi Kodam XVII/ Cenderawasih Kolonel Inf Yusuf Sampe Toding dan Dandim 1710/Mimika Letkol Inf Windarto beserta sejumlah pasukan TNI.
Sedangkan tim yang menunggu di sekitar halaman gereja tediri dari sekitar tujuh orang Jurnalis bersama Kepala Penerangan Kodam XVII/ Cenderawasih Kolonel Inf Muhammad Aidi.
Saat sedang asyik bercerita sambil menunggu tim yang berangkat ke Opitawak, kami dikagetkan dengan bunyi tembakan dengan rentetan sebanyak tiga kali. Kami pun berhamburan mencari tempat berlindung, beberapa yang tiarap di tebing termasuk Kapendam Kolonel Aidi berlindung di balik pohon cemarah.
Seorang teman kami yang mungkin dalam keadaan panik mendengar bunyi tembakan, tiba-tiba lari ke tengah lapangan dan bingung mencari tempat berlindung. Kami pun sontak tertawa tebahak-bahak “kok larinya ke lapangan, memangnya gempa bumi”
Setelah dikonfirmasi, rupanya yang melepaskan tembakan berasal dari anggota TNI. Mereka kemungkinan melihat pergerakan kelompok bersenjata di bukit sebelahnya. “Prajurit, cari asal tembakan itu dari mana. Siap dari kita (yang lepas tembakan) komandan,” kata seorang prajurit menjawab Kapendam Kolonel Aidi.
Kelompok Bersenjata Tinggalkan Dokumen
Kelompok bersenjata meninggalkan sejumlah dokumen di rumah yang mereka bakar di Kampung Opitawak. Berbagai dokumen itu tertulis dikeluarkan dari Markas Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) Komando Daerah Pertahanan (Kodap) III Kali Kopi.
Dokumen tersebut terdiri dari daftar struktur organisasi TPNPB, suara bulat (seruan menyatukan suara untuk Papua Merdeka) atasnama tujuh suku tertanda Panglima TPNPB Kodam III Pegunungan Tengah Mimika, Jenderal (TPNPB) Kelly Kulalok.
Kemudian surat permohonan sumbangan dana sukarela sebesar Rp25 juta untuk perjuangan Papua Merdeka, dikeluarkan oleh Markas TPNPB Kodap III Nemangkawi tertanda Mayjen (TPNPB) Jhon J Uamang yang ditujukan kepada Kepala Kampung Banti II.
Pada Kamis (5/4) malam pasukan TNI menemukan daftar nama pasukan TPNPB yang merinci jumlah pasukan, penempatan (penugasan) pasukan, serta pimpinan (Panglima) dan rencana aksi mereka melakukan perlawanan terhadap TNI-Polri.
Tidak hanya itu, di lokasi tersebut ditemukan sejumlah barang bukti berupa berbagai jenis senjata rakitan dan senjata tradisional, seperti empat pucuk senapan angin rakitan dengan kapasitas peluru cukup mematikan, parang, kapak dan ratusan busur panah.
Sebelum terjadi pembakaran rumah tersebut, pasukan TNI sempat terlibat kontak tembak dengan kelompok bersenjata pada Minggu (1/4), yang mengakibatkan Praka (Anumerta) Vicky Rumpaisum, prajurit TNI dari Yonif 751/Raider gugur setelah tertembak di bagian pelipis kiri.
Selanjutnya pada Rabu (3/4), pasukan TNI melakukan pengejaran terhadap kelompok bersenjata yang berjumlah sekitar 50an orang dengan kekuatan persenjataan yang mereka miliki di atas 23 pucuk senjata standar militer.
Tidak hanya membakar 17 rumah warga, seorang bayi dalam salah satu rumah itu nyaris ikut terpanggang. Beruntung pasukan TNI langsung melakukan penyelamatan setelah mendengar tangisan bayi tersebut.
“Bayi itu dalam kondisi cacat. Kami sudah serahkan kepada warga setempat yang diwakili Kepala Suku Banti I, Yohanes Yamang,” kata Dansatgas TNI Kolonel Frits Pelamonia dengan mata berkaca-kaca.
Hingga kini pasukan TNI masih melakukan pengejaran terhadap kelompok bersenjata yang diduga melarikan diri ke wilayah Kampung Aroanop, Distrik Tembagapura. Mereka dilaporkan telah membakar sebuah klinik kesehatan di sana pada Jumat (6/4). (rum/SP)
Tinggalkan Balasan
Anda Harus Login untuk berkomentar. Belum Punya Akun ? Daftar Gratis