Jeritan Korban PHK Freeport: Kami Tidak Mengundurkan Diri

waktu baca 4 menit
Aksi Teatrikal yang dilakukan oleh Karyawan Freeport saat melakukan unjuk rasa di Pusat Kantor Pemerintahan Kabupaten Mimika beberapa waktu lalu - Foto : Sevianto/SP

BAGIAN I

TIMIKA | Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) menjadi hal terburuk bagi setiap karyawan. Kondisi inilah yang sedang dihadapi ribuan karyawan di lingkungan PT Freeport Indonesia (PTFI) di Timika, Papua.

Ribuan karyawan Freeport tersebut dianggap mengundurkan diri secara sukarela setelah melakukan aksi mogok kerja sejak 1 Mei 2017 lalu. Manajemen perusahaan menyebut aksi pemogokan tersebut tidak sah (illegal).

Lantas bagaimana tanggapan karyawan dan bagaimana kehidupan mereka atas kondisi ini. Jurnalis Seputar Papua telah melakukan wawancara khusus dengan karyawan korban PHK Freeport di Sekretariat PUK SP-KEP SPSI PTFI di Timika, Rabu (9/8/17) pekan lalu.

Aleks Giyai, adalah satu dari sekian banyak karyawan Freeport yang menjadi korban PHK. Baginya, PHK sepihak oleh perusahaan asal Amerika Serikat (Freeport-McMoRan Inc) ini dengan menyebut karyawan telah mengundurkan diri tentu sangat menyayat hati.

“Kami tidak mengundurkan diri. Kami mogok karena ada sebab. Mana mungkin seorang karyawan dengan tanpa alasan melakukan mogok kerja begitu saja. Ini (anggapan) sangat tidak adil,” katanya sedih.

Karyawan permanen Freeport ini pun mengungkap alasannya harus ikut dalam aksi mogok kerja. Saat itu manajemen Freeport mengambil sebuah kebijakan dengan merumahkan (furlough) ribuan pekerjanya menyusul penghentian izin ekspor konsentrat Februari lalu.

Kala kebijakan ini mulai diterapkan, Giyai menyaksikan rekan-rekan kerjanya mulai dipulangkan satu persatu dari tempat kerja. Keresahan pun menyelimuti mereka. Tidak ada lagi konsentrasi kerja. Mereka hanya khawatir setiap saat kapan akan mendapat giliran pulang kampung.

“Kami tidak ada ketenangan lagi dalam bekerja. Situasi diciptakan sangat tidak nyaman bagi kami. Setiap kami kembali dari lokasi kerja, dalam hati tinggal bertanya siapa lagi yang akan mendapat amplop surat ‘cinta’ (furlough),” tutur Giyai.

Karena keresahan itulah, timbul aksi spontanitas dari sejumlah karyawan untuk melakukan mogok kerja. Aksi pemogokan ini juga semata-mata sebagai bentuk solidaritas dan keprihatinan bagi sejumlah karyawan yang saat itu telah dipulangkan.

“Bagaimana mungkin kami harus menyaksikan teman-teman kami setiap hari dipulangkan dari tempat kerja. Kami resah. Kami juga tidak mengerti dengan kebijakan perusahaan saat itu,” katanya.

Seiring waktu pemogokan berlanjut, manajemen Freeport lalu menerbitkan surat panggilan kembali bekerja. Panggilan itu melalui pesan singkat (SMS), surat langsung, hingga imbauan berisi ancaman melalui spanduk bahkan sejumlah media cetak lokal di Timika.

Akan tetapi, Giyai bersama rekan-rekannya tidak merespon hal itu lantaran belum ada kesepakatan beberapa poin antara serikat pekerja dan manajemen Freeport. Mereka hanya dipaksa kembali bekerja tanpa solusi.

“Sedangkan tuntutan tanpa PHK dan sanksi bagi karyawan yang melakukan mogok belum disepakati manajemen Freeport. Padahal adanya aksi mogok itukan sebagai akibat dari situasi yang diciptakan sendiri oleh manajemen Freeport”

Akhirnya aksi pemogokan pun terus berlanjut. Pada bulan Mei lalu, ribuan karyawan Freeport termasuk Aleks Giyai dinyatakan telah mengundurkan diri secara sukarela. Manajemen Freeport memutus seluruh pemanfaatan fasilitas perusahaan bagi ribuan pekerja.

“Jadi semua termasuk ID card, fasilitas medis melalui PTFI, penggantian biaya pendidikan, perbankan, hingga BPJS Kesehatan diblokir sejak bulan Mei. Kami tidak lagi mendapat akses kesitu,” terang Giyai.

Pasca pemblokiran tersebut, Giyai mengungkap kesulitan hidup yang dihadapinya. Sebagai pekerja asli Papua, tentu ini dipandang sebagai keputusan sangat tidak adil. Dia harus menderita di atas tanah mereka yang kaya, dan tempat perusahaan besar beroperasi.

Ayah empat anak ini harus menanggung beban hidup luarbiasa tanpa pekerjaan sebagai sumber pendapatan untuk kebutuhan ekonomi keluarga. Dua anaknya kini baru duduk di bangku sekolah dasar (SD), sedangkan dua lainnya masih kecil-kecil.

“Kami khawatir apa yang akan terjadi, bagaimana kehidupan kami kedepan. Mulai dari biaya pendidikan anak-anak, ekonomi keluarga, dan lain-lain,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.

Bahkan pernah suatu malam Giyai bersama istri dan empat anaknya harus tidur dalam kegelapan. Mereka kehabisan biaya sampai pulsa (token) listrik pun tidak mampu dibeli. Giyai hanya biasa tertolong oleh rekan seperjuangannya yang masih menyimpan sedikit biaya.

“Jadi kami saling membantu saja antar sesama pekerja yang mogok ini. Kami rasakan bagaimana kesulitan bersama-sama, solidaritas kami tetap kuat. Kami tetap berjuang bersama-sama,” tuturnya.

Di akhir ceritanya, Giyai hanya berharap satu hal yaitu ingin secepatnya kembali bekerja. Dia ingin membuat asap dapur rumahnya kembali mengepul. Dia tidak tega melihat istri dan anak-anaknya harus menanggung derita dari perjuangan sebuah keadilan. 

“Prinsip kami, apa yang benar tetap benar. Kebenaran tidak bisa dikalahkan oleh siapapun dan apapun,” tutur Giyai. (rum/SP)

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Seputar Papua. Mari bergabung di Grup Telegram “Seputarpapua.com News”, caranya klik link https://t.me/seputarpapua , kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Exit mobile version