Marga Amotey Tolak Perusahaan Sawit di Boven Digoel

waktu baca 2 menit
Foto bersama usai melakukan Rapat Adat (Foto: Dok Aloisius Amotey)

NABIRE, Seputarpapua.com | Komponen masyarakat dari suku Mandobo, Kampung Patriot, Distrik Arimop, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua Selatan menggelar rapat adat guna menanggapi rencana pemerintah mengizinkan perusahaan sawit beroperasi di wilayah adat mereka.

Berdasarkan data yang didapat oleh masyarakat adat bahwa luasan konsesi yang diizinkan pemerintah kepada salah satu perusahaan seluas 34.092,18 Ha itu, meliputi Distrik Mandobo, Distrik Jair dan Distrik Arimop.

Ketua Marga Amotey, Aloiysius Amotey dalam keterangan mengungkapkan, pihaknya telah bersepakat menolak kehadiran perusahaan tersebut di seluruh wilayah adat marga Amotey. Amotey mengatakan bahwa marganya di kampung patriot secara turun-temurun menjadikan hak ulayat mereka yang di dalamnya ada hutan alam sebagai sumber kehidupan utama dan juga sebagai aset arga.

“Dalam hutan ada sagu sebagai sumber makanan utama kami, selain itu juga ada hewan yang kami selalu berburu, ada juga kayu dan tumbuh-tumbuhan lainya yang menjadi sumber penghidupan dan kehidupan marga Amotey secara turun-temurun” ungkap Aloiysius kepada awak media dalam keterangan tertulis, Jumat (1/11/2024).

Dalam kesempatan tersebut salah seorang aktivis lingkungan yang juga anak asli dari kampung Patriot Maria G Amotey mengatakan bahwa sebagai aktivis dan juga sebagai masyarakat adat, dirinya dengan tegas menolak kehadiran perusahaan itu beroperasi di wilayah tanah adat marga Amotey, karena akan menyebabkan deforestasi yang berakibat pada punahnya flora dan fauna endemik, pemanasan global, perubahan Iklim dan terganggunya siklus air.

“Dengan hadirnya perkebunan kelapa sawit dan juga rencana pembangunan Pabrik Pengelolahan Kelapa Sawit (PKS) akan sangat berpengaruh terhadap keseimbangan lingkungan dan merusak Ekologi,” ungkapnya.

Sementara itu Aktivis Lingkungan dan Kemanusian dari LBH Papua Pos Merauke Philipus K Chambu berpendapat bahwa pemerintah wajib mengedepankan Prinsip Free and Prior Informed Consent (FPIC), dimana masyarakat diberikan kehendak bebas dan tanpa intervensi dan paksaan apapun dari pihak manapun dalam pengambilan keputusan apakah masyarakat adat menerima atau menolak perusahaan atau investasi yang akan masuk diwilayah adat mereka.

Philip kemudian menegaskan bahwa hak-hak masyarakat adat secara tegas telah diatur pada pasal 18B ayat 2 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia junto Pasal 43 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua junto Pasal 22 PERDASUS Kabupaten Boven Digoel Nomor 2 Tahun 2023.

Editor:

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Seputar Papua. Mari bergabung di Grup Telegram “Seputarpapua.com News”, caranya klik link https://t.me/seputarpapua , kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Exit mobile version