Syukuran Bakar Batu 1 Tahun Pengungsian Waa-Banti, 7 Ekor Babi Dipanah Pagi Buta

Warga Waa-Banti bergotong-royong mempersiapkan prosesi bakar batu di Distrik Tembagapura, Mimika. (Foto: Ist/Seputarpapua)
Warga Waa-Banti bergotong-royong mempersiapkan prosesi bakar batu di Distrik Tembagapura, Mimika. (Foto: Ist/Seputarpapua)

TIMIKA | Warga Waa-Banti lakukan perayaan ucapan syukur bakar batu atas kembalinya warga dari pengungsian ke kampung mereka di Waa-Banti, Distrik Tembagapura, Mimika, Papua.

Aktivis Lingkungan dan HAM, Adolfina Kum yang dihubungi seputarpapua menerangkan, syukuran ini merupakan bentuk ekspresi warga dan diinisiasi oleh Mama Martina Natkitme.

Perayaan sederhana ini digelar di halaman bekas SD Waa-Banti yang sudah terbakar pada Selasa, 22 Februari 2022.

Para warga, kata Doli (sapaan) sejak subuh sudah melalukan pembagian tugas berdasarkan gender. Para lelaki mengurus prosesi pembunuhan (memanah) babi. Sedang para mama-mama menyiapkan sayur-sayuran dan keladi.

“Prosesi bunuh 7 ekor babi dilakukan para lelaki Kampung Banti, Kimbeli dan Opitawak. Itu jam 04.00, pagi buta,” kata Doli.

Para warga yang pernah menjadi korban pengungsian ini datang dari berbagai kampung seperti Banti I, Banti II, Tagabera, Opitawak, Kimbeli, Utikini, Aroanop dan Tsinga.

Warga yang tinggal di daerah Kampung Pertanian dan Kali Kabur juga turut serta dalam perayaan ini.

“Warga yang hadir dari kampung-kampung itu antusias ingin melakukan doa bersama serta makan bersama sebagai ucapan syukur kepada Tuhan atas 1 tahun mereka meninggalkan kampung halaman, dan mengungsi ke Timika. Saat ini sudah kembali, tinggal di kampung  mereka,” terang Doli.

Bakar batu merupakan sebuah prosesi adat lokal yang menjadi simbol perdamaian dan ucapan syukur.

Pada prosesi ini, semua warga dilibatkan. Tidak ada yang berdiam diri. Para warga juga melakukan prosesi ini dengan gembira sambil melantunkan doa kepada Tuhan.

Diakui Doli, mama-mama di kampung menjadi penggerak utama ibadah syukur ini. Mama-mama yang dipimpin Mama Martina Natkitme itu menggerakkan warga dan saling bahu-membahu mempersiapkan semuanya secara swadaya.

Mama Martina yang dihubungi seputarpapua, kembali mengucap syukur atas kembalinya warga ke tempat yang aman dan berlindung di rumah masing-masing, di tanah kelahirannya.

Advertisements

Sebagai penggerak warga, ia juga merasa bangga. Pasalnya, di tengah budaya patriarki suku-suku pegunungan tengah Papua itu, Martina memimpin warga termasuk kaum lelaki merayakan bakar batu.

“Saya bukan laki-laki. Saya ini perempuan. Tapi saya bisa melakukan semua ini. Banyak yang tidak suka dengan saya karena budaya patriarki yang masih kental di masyarakat,” kata Martina.

“Karena saya perempuan baru buat begini (prosesi adat). Ada yang bilang karena Mama Martina punya kepentingan, tapi tidak masalah. Itu proses kehidupan. Saya lakukan semua ini untuk  kepentingan masyarakat saya,” tegasnya.

penulis : Yonri
editor : Aditra

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Seputar Papua. Mari bergabung di Grup Telegram “Seputarpapua.com News”, caranya klik link https://t.me/seputarpapua , kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Tinggalkan Balasan