Bupati Merauke Tegaskan Belum Ada Izin Investasi di Pulau Kimaam Merauke

waktu baca 6 menit
Bupati Merauke, Romanus Mbaraka. (Foto: Humas Pemkab Merauke)

MERAUKE, Seputarpapua.com | Bupati Merauke, Romanus Mbaraka menegaskan belum ada izin investasi di bidang apapun di Pulau Kimaam, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan.

Pernyataan tegas Bupati Merauke Romanus Mbaraka ini disampaikan kepada awak media, Sabtu (15/6/2024), menanggapi aksi penolakan terhadap rencana Investasi perkebunan tebu di Pulau Kimaam oleh masyarakat adat Suku Kimahima (Kimaam) dan Suku Maklew (Ilwayab) di Gedung DPRD Merauke, Kamis (13/6/2024).

Bupati Mbaraka menjelaskan, berdasarkan tata ruang, Pulau Kimaam merupakan wilayah hutan produksi konversi (HPK) dan hutan lindung, sehingga sangat sulit jika dibuka lahan investasi karena dipenuhi tanaman mangrove yang mencegah abrasi pantai.

“Untuk investasi di sana sudah tidak bisa karena daerah mangrove. Lalu yang berikut, itu belum ada satu pun izin lokasi atau izin apapun,” tegas Bupati Romanus Mbaraka yang dikonfirmasi via sambungan teleponnya.

Bahkan menurut Mbaraka, belum ada pemberitahuan apapun dari Kementerian Investasi, Kementerian Pertanian atau departemen lainnya tentang lokasi yang menjadi fokus investasi di Pulau Kimaam. Namun wilayah itu masuk tata ruang potensial yang bisa dikembangkan untuk peternakan, pertanian basah, perikanan (darat, sungai dan laut),

“Wilayah Kimaam dan Maklew itu belum masuk sama sekali. Tetapi di dalam tata ruang, untuk kewilayahan potensial dan komoditas itu ada. Jadi, itu bukan berarti serta merta langsung investasi ada. Jadi tidak ada satu pun izin untuk investasi di sana, tidak ada sampai dengan hari ini,” ungkap Romanus Mbaraka.

“Tidak ada izin juga. Saya selaku kepala daerah, bupati dan Pak Pj. Gubernur pun belum ada pemberitahuan juga untuk investasi di sana. Kalau ada penerbangan di udara pesawat atau helikopter, saya kira wajar saja untuk meneliti semua itu,” sambungnya.

Romanus Mbaraka menanggapi positif atas aksi penolakan oleh masyarakat adat Kimahima dan Maklew terhadap investasi. Menurutnya, hal itu menjadi bagian penting dari aspirasi dan bentuk pengawasan, apalagi menyangkut hak adat ulayat yang harus diakui oleh negara.

“Saya pikir itu wajar saja, kalau masyarakat menyampaikan aspirasi. Biar bagaimana pun hak ulayat masyarakat adat adalah segala-galanya untuk hidup mereka dan diwariskan turun-temurun hingga ke anak cucu mereka,” imbuhnya.

Bupati Merauke menyebutkan, total alokasi ruang wilayah di Kabupaten Merauke untuk lahan pertanian adalah 1,2 juta hektare. Bukan 2 juta hektare. Namun, jika seluruh wilayah provinsi Papua Selatan totalnya di atas 1,2 juta hektare.

“Nah, yang sementara oleh pemerintah mengantisipasi kecukupan pangan, jika terjadi krisis mau tidak mau kita harus bisa swasembada pangan. Potensi kita di Merauke yang harus kita syukuri bahwa pemerintah dapat membantu mengoptimalkan 63 ribu hektare lahan, yang selama ini dikerjakan oleh petani di Merauke” sebutnya.

“Itu yang mau dioptimalkan, makanya Menteri Pertanian begitu baik bersama dengan Bapak Presiden Terpilih, Menteri Pertahanan, Menteri Investasi datang melirik Merauke, untuk bagaimana optimalisasi lahan ini bisa dilakukan,” kata Mbaraka.

Ia menambahkan, hingga saat ini indeks produksi (IP) panen padi di Kabupaten Merauke baru dua kali tanam dalam setahun. Hal itu yang bakal dinaikkan dengan optimalisasi lahan tidur yang sebelumnya telah dikerjakan oleh petani Merauke tanpa membuka hutan baru.

“Sampai hari ini untuk padi-padian, indeks produksi/panen kita baru dua (2) kali tanam, itu mau yang dinaikkan. Kalau bisa IP kita 3 kali dalam setahun, dengan rata-rata produksi gabah kering giling bisa di atas 6 ton, karena selama ini masih 3-4 ton. Ada yang 2 ton bahkan tidak sampai,” terangnya.

“Lalu bagaimana penanganan pasca panennya agar kualitas beras kita bisa jadi baik. Dan kualitas beras ini masuk dalam permintaan pasar, jangan cuma pasar Dolog tapi pasar bebas. Karena selama ini kualitas beras kita Ph masih di bawah 7. Sementara, standar Dolog di atas Ph 11. Kita masih di bawah itu,” ujarnya.

Penanganan pasca panen yang masih manual, lanjutnya, menyebabkan beras petani rawan terjadi pendebuan. Proses penjemuran masih manual dan penggilingan yang masih standar juga memicu kualitas beras Merauke di pasaran bebas menurun.

“Pasca panen, petani kita masih manual, jemur, kasih karung, bawa ke penggiling dan gilingan-gilingan kita juga rata-rata masih standar,” tandasnya.

Sebagaimana diberitakan media ini, Kamis (13/6/2924), ratusan warga masyarakat adat yang berasal dari Suku Kimahima (Pulau Kimaam) dan Maklew (Ilwayab) Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan mengeruduk Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Merauke, Kamis (13/6/2024).

Masyakat adat dari Suku Kimahima (Kimaam) dan Maklew (Ilwayab) menduduki Kantor DPRD Merauke sejak pukul 09.30 WIT hingga 14.00 WIT. Mereka menggelar orasi yang menolak tegas investasi perkebunan tebu di Pulau Kimaam Kabupaten Merauke Provinsi Papua Selatan.

Kedatangan masyarakat adat itu diterima Wakil Ketua II DPRD Merauke, Dominikus Ulukyanan, anggota DPRD Moses Kaibu dan anggota7 Majelis Rakyat Papua Selatan (MRPS), Paskalis Imadawa.

Koordinator Lapangan Masyarakat Adat Suku Kimahima dan Maklew, Idelfonsius Cambu mengatakan, kehadiran investor dinilai tanpa permisi dan meresahkan karena tidak melibatkan masyarakat setempat. Menurutnya, tidak ada tanah yang tak bertuan, semua memiliki tuan.

“Kami datang ke DPRD Merauke untuk menyatakan dengan tegas menolak investasi tebu di Pulau Kimaam. Laporan masyarakat, ada kegiatan pemantauan helikopter sudah berlangsung beberapa pekan, termasuk kapal besar telah berlabuh di Pelabuhan Wanam, Distrik Ilwayab,” ungkap Idelfonsius Cambu

“Persoalannya adalah kenapa tidak melibatkan tokoh adat maupun tokoh masyarakat dari Pulau Kimaam. Seolah-olah Pulau Kimaam ini tidak ada penghuni atau pemilik tanah. Helikopter maupun kapal seenaknya dikirim ke sana melakukan pemantauan,” sambungnya.

Dia menduga ada kesepakatan lain tanpa sepengetahuan masyarakat setempat yang dibangun antara pimpinan pemerintah pusat dan pemerintah daerah bersama dengan investor untuk memuluskan proyek nasional investasi tebu.

“Jujur kami curiga. Ada politik apa dibangun Pemerintah Kabupaten Merauke bersama Pemerintah Pusat. Kami sepakat saja, kalau tanah ini milik negara, tapi harus tahu bahwa dalam undang-undang, tertulis bahwa satuan hukum adat harus dilindungi negara. Tapi kenapa kami tidak dihargai sama sekali,” imbuhnya.

Idelfonsius menyebutkan ada sejumlah poin tuntutan dan penolakan masyarakat adat terhadap investasi tebu di Pulau Kimaam dan peternakan sapi. Tuntutan tersebut di antaranya.

Pertama, masyarakat adat Suku Kimahima dan Maklew dengan tegas menolak PT Global Papua Abadi selaku perusahaan tebu dan perusahaan peternakan sapi dan kerbau.

Kedua, menolak izin yang telah Pemerintah Kabupaten Merauke dan Pemerintah Provinsi Papua Selatan kepada PT Global Papua Abadi atau perusahaan tebu dan perusahaan peternakan sapi serta kerbau.

Ketiga, mendesak Majelis Rakyat Papua Selatan (MRPS) serta DPRD Kabupaten Merauke agar memfasilitasi persoalan dimaksud.

Keempat, mendesak agar Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Merauke segera membentuk panitia khusus (Pansus) untuk mengusut masalah tersebut.

Kelima, masyarakat suku Kimahima (Kimaam) dan Maklew (Ilwayab) mendesak Majelis Rakyat Papua Selatan (MRPS) membentuk panitia ( (pansus) menindaklanjuti hal tersebut.

Keenam, mendesak pemerintah pusat mencabut izin usaha perusahaan tebu (PT Global Papua Abadi) dan perusahaan sapi serta kerbau.

Ketujuh, menolak kementerian Investasi, Kementerian ATR serta sejumlah kementerian lain untuk izin operasi dari hak wilayah adat masyarakat Kimahima dan Maklew.

Kedelapan, bila tuntutan yang diajukan ini tak direspons, maka masyakat adat akan kembali datang dengan lebih besar lagi.

Menanggapi tuntutan penolakan investasi tebu itu, Wakil Ketua II DPRD Merauke, Dominikus Ulukyanan berjanji akan memperjuangkan apa yang menjadi desakan masyarakat adat Suku Kimahima (Pulau Kimaam) dan Maklew (Ilwayab) Kabupaten Merauke.

“Kami sudah menghargai kalian semua datang kesini. Ini adalah cara terbaik menyelesaikan masalah. Tidak usah ke jalan, berteriak-teriak, karena itu tidak akan ada kesimpulan. Kesimpulan ada di sini, kami akan laksanakan itu tanggal 21 Juni 2024. Kami mengundang semua pihak terkait,” kata Dominikus Ulukyanan di hadapan masyarakat adat.

“Siapa pun yang datang mewakili OPD bersangkutan, kami berharap bisa berikan solusi. Demi anak cucu kita di Pulau Kimaam, saya pikir apa yang disampaikan masyarakat bukan dibuat-buat. Kami akan perjuangkan ini berjenjang hingga ke pemerintah pusat. Saya minta doa dan kesabaran, kita semua bekerja,” tutup Dominikus Ulukyanan.

Penulis:
Editor:

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Seputar Papua. Mari bergabung di Grup Telegram “Seputarpapua.com News”, caranya klik link https://t.me/seputarpapua , kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Exit mobile version