Kejari Mimika Kedepankan RJ dalam Upaya Hukum, Ini Penjelasannya

Salah satu upaya restorative justice yang dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Mimika. (Foto: Mujiono/Seputarpapua)
Salah satu upaya restorative justice yang dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Mimika. (Foto: Mujiono/Seputarpapua)

TIMIKA| Kejaksaan Negeri (Kejari) Mimika dalam melakukan upaya penindakan hukum, kini lebih mengedepankan Restorative Justice (RJ). Hal ini berdasarkan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

RJ atau Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait, untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.

Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejari Mimika, Masdalianto mengatakan, seluruh kejaksaan di Indonesia telah mendapatkan Instruksi dari Kejaksaan Agung untuk melakukan penegakan hukum yang lebih humanis, artinya pelaksanaan upaya penegakan hukum agar lebih mengedepankan RJ.

RJ bukan hanya menjadi pemanis di masyarakat, tetapi bagaimana perkara yang bisa diselesaikan dengan kategori yang telah ditetapkan Kepala Kejakssan Agung itu, sudah dan bisa dilakukan upaya damai.

“Itu yang ditekankan oleh pimpinan dalam penegakan hukum yang lebih humanis,” kata Masdalianto yang juga Kepala Seksi Intelejen (Kasi Intel) Kejari Mimika, Senin (24/7/2023), di Kantor Kejari Mimika.

Masdalianto menjelaskan, begitu pula untuk melakukan RJ pada sebuah kasus tidaklah sembarangan, karena ada ketentuan yakni tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana. Misalnya, jika residivis tidak bisa dilakukan RJ, karena perbuatan yang dilakukan berulang-ulang.

Kemudian, tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun.

Selanjutnya, persyaratan kedua adalah menyangkut angka kerugian tidak lebih dari Rp2.500.000. Kemudian ada perdamaian antara kedua belah pihak. Serta bukan pidana khusus, seperti makar, teroris, dan lainnya.

“Jadi RJ dilakukan pada tindak pidana umum yang menyentuh masyarakat kecil,” katanya.

Ia memberikan contoh belum lama ini kasus penganiayaan yang dilakukan pelaku JS. JS dan korbannya merupakan teman, jika perkara dilanjutkan maka pertemanan keduanya bisa putus. Setelah dilakukan RJ oleh Jaksa peneliti, akhirnya keduanya bersedia. Inilah yang diharapkan sehingga terwujud keadilan.

“Dengan kata lain, RJ itu terjadi karena adanya perdamaian,” ujarnya.

Lanjut Masdalianto, ketentuan RJ yang diberikan oleh pimpinan juga untuk menjaga para Jaksa, dalam hal ini semua kasus tidak bisa ditempuh melalui RJ.

Advertisements

“Kalau itu terjadi, maka keadilan akan sumir dan menimbulkan masalah di masyarakat,” terangnya.

Keputusan untuk melakukan RJ pada salah satu kasus bukan merupakan keputusan sepihak di Kejari Mimika, melainkan berjenjang dan harus disampaikan kepada Kejaksaan Tinggi hingga Kejakssan Agung. Hal ini untuk menjaga nilai RJ, dalam arti keputusan yang dibuat bukan hanya pemikiran Jaksa peneliti, tetapi hasil koordinasi untuk melakukan penilaian terhadap sebuah upaya RJ.

“Dalam melakukan RJ kami hanya memfasilitasi terhadap dua pihak pelaku dan korban, dan prosesnya itu berjenjang, bukan keputusan dari Kejari Mimika sendiri,” pungkasnya.

penulis : Mujiono
editor : Saldi Hermanto

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Seputar Papua. Mari bergabung di Grup Telegram “Seputarpapua.com News”, caranya klik link https://t.me/seputarpapua , kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Tinggalkan Balasan