“Kalau mandi biasa pakai air asin saja, karena tidak ada air, air bersih untuk pakai masak,”
Begitu ungkapan Wenselaus Maurita atau akrab disapa Wens seorang warga yang bermukim di RT 11, Kampung Pomako, Distrik Mimika Timur tepatnya di sekitar pelabuhan.
Rumah Wens sangat sederhana, ia tinggal bersama istrinya, Prida Mawiyako (44) dan tiga orang anak, dua cucu, satu anak mantu dan satu kerabatnya.
Rumah panggung beratap seng dan terpal, dan hanya berdinding papan juga tripleks menjadi tempat yang sangat nyaman bagi Wens dan keluarga.
Sama seperti warga lainnya yang bermukim di dekat pelabuhan Pomako, kesulitan menikmati air bersih menjadi salah satu masalah yang belum terpecahkan sejak Wens bersama keluarganya keluar dari kampung halamannya yakni Mimika Pantai 2011 silam.
Kepada Seputarpapua.com Wens bercerira, situasi yang dialami saat ini pun mirip dengan waktu Wens di Mimika Pantai yakni kesulitan menikmati air bersih. Padahal Wens dan keluarga berharap ada perubahan ketika mereka mengadu nasib ke kota Timika.
Ternyata betapa sulitnya mereka memperoleh air bersih di kota Timika, bahkan harus membeli jika ingin masak dan untuk minum.
Lokasi Pomako adalah wilayah yang dikelilingi rawa dan pohon mangrove. Air di muara Pomako seperti biasa ada pasang dan surut, warna air yang keruh dan asin membuat mereka tak bisa berbuat banyak kecuali berhadap dengan hujan dan air galon.
“Kami kesulitan air bersih, kami biasa pakai air hujan tapi untuk masak, cuci piring, pakaian terus habis, dengan keadaan terpaksa kita biasa cari air galon,” kata Wens, Kamis (20/10/2022).
Di rumah, Wens hanya memiliki dua drum untuk menampung air hujan, sisanya ember kecil dan jerigen yang dipotong untuk menampung air. Air hujan yang tertampung di drum juga tidak berkualitas karena banyak jentik nyamuk.
Bahkan untuk mencuci piring, jika tidak ada air hujan, mereka mengandalkan air asin saat air pasang kemudian menggunakan saringan seadanya untuk mencuci piring.
Pria yang berprofesi sebagai nelayan dan pengukir ini mengungkapkan sulitnya setiap hari harus membeli air galon dengan pendapatannya sebagai nelayan yang kadang bisa mendapatkan uang, namun jika sepi maka hanya bisa pulang dengan tangan kosong.
Rumah milik keluarga Wenselaus Maurita
Di Pomako, kata Wens dulunya air galon hanya dijual Rp5 ribu, seiring berjalannya waktu harga tersebut terus merangkak naik hingga kini menjari Rp10 ribu per galon. Namun jika membeli air galon yang dititipkan di warung, harganya berbeda lagi yakni Rp15 ribu per galonnya.
“Karena kita cari jalan untuk bisa minum saja, mau tidak mau harus beli air galon karena. Kita tidak bisa hindari karena ini ada air minum baru manusia hidup. Kalau makan itu soal kedua, pertama itu harus minum, baru ini sungai bukan air tawar yang mengalir ini air asin, jadi tidak bisa untuk masak dan minum,” katanya.
Pria kelahiran 22 Februari 1976 ini bahkan menjelaskan suatu keadaan yang harus mereka hadapi, yakni mandi di air asin yang keruh.
“Kalau mandi biasa pakai air asin saja, karena tidak ada air juga, air pakai masak,” ungkapnya.
Kebutuhan air bersih sangat menunjang kehidupan di dalam keluarga, Prida Mawiyako tak bisa berbuat banyak saat para pengusaha depot memilih untuk mogok.
“Hari ini (kemarin-red) saya mau buat makan untuk anak anak juga tidak ada air, semua sudah kosong. Dari pagi kita tunggu air galon, tapi air galon juga tidak turun,” ujarnya.
Wenselaus Maurita dan sang istri Prida Mawiyako saat bercerita mengenai sulitnya merasakan air bersih di Pomako.
Saat itu, karena air surut, drum air pun kosong karena tidak ada hujan beberapa hari, keluarga Wens bertahan dengan mengandalkan pendapatan dari menjual ikan yang dihasilkan Rp100 ribu digunakan untuk membeli makanan di warung.
“Makannya terpaksa beli di warung makan nasi bungkus saja karena tidak ada air untuk masak. Ini juga kesulitan kita beli nasi satu bungkus 10 ribu untuk banyak orang, apalagi tambah beli air botol, anggaran juga,” ungkapnya.
Kebutuhan air pergalon untuk satu keluarga, kata Prida biasanya dua galon per hari untuk masak dan minum.
“Kalau panas sekali, pagi beli, sore saja susah habis. Kadang juga kami bagi ke tetangga kalau mereka punya air habis jadi kami minum sama-sama,” ujarnya.
Dengan sulitnya air bersih ini, keluarga Wens hanya berharap ada perhatian dari pemerintah. Yangmana menurut mereka, pemerintah sempat menjanjikan adanya air bersih bagi masyarakat pomako namun hingga kini belum terealisasi.
“Semoga pemerintah bisa memberikan solusi untuk kami hidup hampir 11 tahun disini belum menikmati air bersih, Pemerintah juga tidak pernah pantau kesini hanya mereka turun janji mau kasih air bersih tapi tidak ada sampai sekarang,” pungkasnya.
Tinggalkan Balasan
Anda Harus Login untuk berkomentar. Belum Punya Akun ? Daftar Gratis