Kisah Pramuria di Timika kala PPKM: Kerja Jam Kantoran, Upah Minim, Rentan Kekerasan

Perbesar

Pekerjaan melayani pria hidung belang, menurut ketiga perempuan itu bukanlah perkara secuil kuku. Para pekerja seks komersial (PSK), selain harus pandai berkomunikasi untuk dapatkan pelanggan, juga harus siap hadapi kekerasan dari para pria yang dipengaruhi alkohol.

“Yang mabuklah, yang stres tidak punya uang. Macam-macam, mas. Macam-macam tingkah tamu-tamu itu. Harus gaya begini lah, begitu lah. Mana kalau tidak bawa uang lagi, sudah tipu malah main pukul,” keluh Ana.

Koordinator Pramuria, Vimi (30, samaran) menuturkan, sejak masa pandemi ini, para pramuria harus sedikit bersabar dan saling membantu. Turunnya pendapatan ekonomi akibat pandemi merupakan masalah yang dihadapai hampir seluruh pramuria.

Dijelaskan Vimi, selama masa PPKM, para pramuria sedikit mendapat angin segar karena bar diperbolehkan buka dari pagi hari hingga pukul 18.00 waktu setempat. Menurutnya sejak ada kebijakan itu, beberapa pelanggan biasanya mulai berkunjung pada pagi dan sore hari.

SEPI | Jejeran kamar di salah satu lorong bar yang dipakai untuk melayani tamu, tampak sepi, Kamis (5/8/2021) sore. (Foto: Yonri/Seputapapua)

Bahkan ada juga pelanggan yang berkunjung pukul 06.00 pagi untuk minum-minum dan bersantai bersama teman-temannya.

“Kayak kantoran. Buka pagi, tutup sore,” canda Vimi saat ditemui, Kamis (5/8/2021).

“Tapi kami sudah tutup jam 5-an, karena ada yang ibadah kan,” tambahnya.

Diungkapkan Vimi, dari kalangan pramuria yang paling merasakan dampak dari pandemi ini adalah pramuria yang berumur 30 tahun ke atas. Sebab para pramuria itu dinilai tidak laku dikalangan pelanggan.

“Yang 30 tahunan ke atas itu, kadang mereka harus begadang (subuh), kalau misalnya ada masyarakat yang lewat itu baru dia dapat tamu. Kebanyakan sih yang stabil (ekonominya), mbak-mbak yang masih muda,” ungkap Vimi yang juga aktivis dan mengaku pernah berfoto dengan Menteri Sosial, Tri Rismaharini dalam sebuah kesempatan.