Koalisi Masyarakat Sipil Meminta DKPP Pecat Penyelenggara Pemilu Bermasalah

Ilustrasi
Ilustrasi

TIMIKA | Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih meminta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memecat penyelenggara pemilu yang bermasalah.

Permintaan pemecatan tersebut dikarenakan adanya dugaan kecurangan yang dilakukan oleh jajaran petinggi KPU RI.

Dalam siaran persnya, Rabu (22/2/2023), Koalisi menyampaikan bahwa banyak menerima informasi maupun bukti kecurangan yang disinyalir dilakukan oleh jajaran petinggi KPU RI dan penyelenggara pemilu di daerah dalam tahapan verifikasi faktual partai politik calon peserta Pemilu 2024.

Diduga kuat pola kejahatan ini berbentuk hirarkis, dengan adanya perintah langsung yang mengarah pada intimidasi dari KPU RI kepada KPU daerah untuk mengubah status partai politik calon peserta pemilu dari Belum Memenuhi Syarat (BMS) menjadi Memenuhi Syarat (MS). Bahkan, sebagian besar informasi dan bukti tersebut sejak lama sudah tersebar dalam banyak pemberitaan media.

Berdasarkan hal tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih akhirnya melaporkan dugaan kecurangan atau pelanggaran kode etik tersebut ke DKPP dengan perkara No.10-PKE-DKPP/I/2023.

Dalam perjalanannya, perkara tersebut telah melalui dua kali persidangan. Maka, berdasarkan Pasal 36 ayat (1) Peraturan DKPP Nomor 3 tahun 2017, majelis akan melakukan Rapat Pleno Putusan paling lambat akhir bulan Februari.

“Atas dasar itu, penting untuk mengulas temuan Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih selama proses persidangan berlangsung,” demikian keterangan dalam siaran pers Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih.

Selama proses pengungkapan dugaan pelanggaran kode etik para penyelenggara pemilu, menurut Koalisi, banyak menuai hambatan. Misalnya DKPP diketahui sempat bersikap tidak profesional dalam menindaklanjuti laporan dugaan pelanggaran kode etik.

Berdasarkan regulasi DKPP, perkembangan pelaporan harus diberikan kepada Pelapor paling lambat lima hari setelah dokumen diserahkan. Alih-alih ditegakkan, lembaga penjaga etik penyelenggara pemilu itu justru baru memberitahukan hasil pemeriksaan administrasi setelah 11 hari dokumen tersebut diterima.

Tidak berhenti di sana, dalam proses persidangan, Koalisi juga menemukan sejumlah keganjilan. Pertama, persidangan dipenuhi dengan nuansa ancaman dari pihak Teradu, khususnya komisioner KPU RI yang menjadi teradu X, Idham Kholik.

Hal ini terlihat dari sikap Idham yang mempermasalahkan bukti elektronik Pengadu dengan menyertai argumentasi adanya ancaman dalam pengaturan yang ada pada perangkat hukum ITE.

Idham juga mempertanyakan kedudukan hukum Pihak Terkait yang hadir, khususnya Ibu Yessy Momongan yang merupakan Anggota KPU Provinsi Sulawesi Utara yang belum mendapat izin hadir dalam sidang dari Pimpinan KPU sebagai atasannya. Padahal, pihak terkait ini dipanggil oleh DKPP secara resmi untuk hadir dalam sidang.

Advertisements

Menurut Koalisi, terlihat bahwa Idham bukan menaruh fokus pada substansi bukti, namun melebar kepada keabsahan bukti, bahkan terkesan ingin memidanakan Pelapor.

Perbuatan serupa juga tampak dari tindakan salah seorang anggota majelis sidang tatkala menanyakan dan memaksa mengungkap pihak yang merekam video testimoni kecurangan pemilu. Sebagai pemeriksa, seharusnya ia memahami bahwa titik fokus pembuktian berada pada isi bukti, bukan malah isu-isu lain yang tidak relevan. Kemudian majelis pemeriksa akses khusus kepada Terlapor untuk mengajukan alat bukti tambahan disaat persidangan pembuktian sudah selesai.

Koalisi menilai tindakan semacam ini sangat sulit dibenarkan secara logika dan jelas melanggar ketentuan pedoman beracara di DKPP.

Advertisements

“Sederhana saja membantahnya, bagaimana mungkin penyerahan bukti dilakukan pasca persidangan? bukankah menguji kebenaran materiil dari sebuah bukti dilakukan di dalam persidangan dengan terlebih dahulu mendengarkan tanggapan Pelapor? Selain itu, Pasal 31 ayat (5) Pedoman Beracara DKPP sudah menegaskan bahwa penyampaian alat bukti tambahan hanya bisa dilakukan dalam persidangan,” demikian diterangkan Koalisi.

“Jadi, tindakan majelis jelas diskriminatif dan bertentangan dengan hukum,” tegas Koalisi.

Kemudian, akses khusus dalam bentuk lain terjadi saat keinginan Teradu atau Terlapor untuk persidangan digelar secara tertutup dikabulkan oleh majelis pemeriksa. Penting diketahui, permintaan itu dilakukan tatkala Pelapor ingin menyajikan bukti video yang isinya berupa pengakuan pegawai KPU daerah terkait adanya perintah untuk berbuat curang dari struktural penyelenggara tingkat provinsi dan pusat.

Advertisements

Sikap majelis pemeriksa layak dipertanyakan, sebab, Pasal 2 ayat (1) Pedoman Beracara DKPP telah tegas menyatakan bahwa persidangan kode etik diselenggarakan dengan prinsip terbuka.

Sejumlah bukti elektronik berupa video yang isinya dapat membuktikan kecurangan pemilu tidak diputar secara utuh. Alasannya sangat janggal, yakni, majelis beranggapan sidang sudah melewati batas waktu, sehingga bukti tersebut tidak dapat disajikan dalam proses persidangan. Padahal, aturan DKPP mewajibkan majelis pemeriksa memberikan kesempatan bagi Pengadu/Pelapor untuk mengajukan alat bukti.

Disebutkan, kondisi saat itu, terutama waktu, masih terbilang cukup untuk memutar video itu hingga selesai. Lebih krusial lagi, pembuktian dengan bentuk bukti berupa video harus disertai dengan penjelasan dari Pelapor agar lebih komprehensif.

Permasalahan kompleks terkait dengan dugaan kecurangan pemilu ini tentu tidak bisa dibiarkan. Terlebih tahapan pemilu sudah berlangsung dan momen puncak pesta demokrasi tinggal menghitung waktu.

Advertisements

Maka dari itu, peran DKPP amat dibutuhkan untuk membersihkan lembaga penyelenggara dari pihak-pihak yang ingin mencoreng citra pemilu di Indonesia dengan melanggengkan praktik intimidatif, curang, dan penuh manipulasi.

Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih menuntut agar DKPP bersikap dan bertindak objektif serta independen dalam menilai pembuktian selama proses persidangan dugaan pelanggaran kode etik.

DKPP menjadikan petunjuk sejumlah pemberitaan, baik berbentuk narasi deskriptif maupun video elektronik, yang sudah tersebar luas di tengah masyarakat terkait dengan kecurangan pemilu.

DKPP dituntut tidak mengikutkan Anggota Majelis yang terlihat cenderung tidak netral dan obyektif dalam persidangan, dan Anggota DKPP yang merupakan Anggota Ex Offico/Perwakilan dari KPU RI dalam pengambilan keputusan.

“DKPP menjatuhkan sanksi berupa pemberhentian tetap bagi seluruh Teradu,” tegas Koalisi dalam tuntutannya.

 

penulis : Fachruddin Aji
editor : Saldi Hermanto

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Seputar Papua. Mari bergabung di Grup Telegram “Seputarpapua.com News”, caranya klik link https://t.me/seputarpapua , kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Tinggalkan Balasan