“Tak ! Tok ! Tak ! Begitu bunyi pahatan yang beradu dengan kayu besi terdengar sangat nyaring menggema di Kampung Iwaka, Distrik Iwaka, Kabupaten Mimika, Papua Jumat (11/2/2022).
Kampung Iwaka sebagian besar dihuni oleh masyarakat Suku Kamoro, salah satu suku asli di Kabupaten Mimika.
Dari dalam sebuah pondok sederhana ada dua pengukir atau dalam bahasa suku Kamoro disebut Maramowe, yakni Alo Amawapea (41) dan Silvester Mautipuru (30) sedang asik memahat kayu untuk dijadikan ukiran.
Di pondok itu, ada banyak hasil ukiran yang sudah dibuat oleh Silvester dan pengukir lainnya seperti Yamate, burung garuda, wemawe (patung ukuran besar), ukiran berbentuk, kura-kura, kalajengking, kaki seribu, dan lainnya.
Di Kampung Iwaka ada sekitar 150 pengukir yang tergabung dalam dua sanggar, Tapamuya dan Sanggar Baramkupia.
Hasil karya mereka berjejer rapi di dalam pondok tersebut. Mereka terus mengukir meski tak ada yang melirik maupun membeli.
Meski hasil ukiran belum terjual Alo dan Silvester tetap memiliki semangat mengukir. “Didalam rumah itu sudah banyak sekali hasil ukiran, sudah tatumpuk,” kata Silvester saat ditemui Seputarpapua.com di Kampung Iwaka.
Awalnya mereka memilih harapan besar bahwa nasib mereka terutama pemenuhan kebutuhan ekonomi akan berubah melalui hasil ukiran.
Harapan itu sudah di depan mata sejak Kampung Iwaka dicanangkan sebagai Kampung Wisata Budaya Distrik Iwaka Kabupaten Mimika Tahun 2020 oleh Pemerintah Kabupaten Mimika melalui Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga, Sabtu (12/12/2020).
Ternyata hingga awal tahun 2022, harapan itu belum terwujud, karena tidak ada yang mengunjungi kampung mereka untuk berwisata atau sekedar untuk membeli hasil ukiran para pengukir.
Saat ini mereka bingung, ke mana mereka akan menjual hasil ukiran mereka.
Silvester bercerita Kampung Iwaka jadi Kampung Budaya namun tidak terjamah. Mereka pun tak bisa berbuat banyak. Iwaka yang hanya hanya 30-40 menit dari pusat kota pun tak bisa menikmati jaringan telekomunikasi.
“Waktu PON kami telan janji nanti tamu mau datang masuk ke sini jadi kami semangat buat (ukir), tapi ternyata tidak ada satu orang pun yang datang ke sini,”katanya.
Kata Silvester, pemerintah melalui dinas pariwisata telah mendirikan pondok-pondok juga membantu alat ukir yang digadang-gadang untuk persiapan PON XX sekitar 20 unit. Pondok tersebut terbuat dari kayu.
“Waktu itu kami semua sudah susun hasil ukiran di pondok-pondok ini, tapi tidak ada satu orang pun yang katanya tamu PON datang lihat . Padahal kami pikul kayu besi dari hutan itu tidak gampang,” ceritanya.
Hingga kini, mereka tetap mengukir karena mengukir merupakan budaya yang tidak bisa terlepas dari suku Kamoro. Namun hasil ukirannya hanya sebagai pajangan di rumah. Mereka tidak tau hendak di pasarkan ke mana.
“Kami bingung mau jual bagiamana, coba mereka (pemerintah) bantu kami cari pasaran. Kerja setiap hari bengkok juga. Baru siapa yang mau beli. Sudah canangkan kampung pariwisata, tapi setelah canangkan lalu hilang entah ke mana,” kata Silvester.
Menurutnya kalau Kampung Iwaka sudah dicanangkan sebagai kampung budaya harusnya bisa diperhatikan dan lebih berkembang.
“Memang mereka bantu kami pondok, alat pahat jadi kami semangat untuk memahat tapi bagaimana kalau tidak terbeli. Kami tetap semangat mengukir tapi kita ukir kita rugi, manusia sakit,”katanya.
Namun, bagaimanapun, Silvester mengatakan ia tetap menerapkan budaya mengukir bahkan mengajarkan anaknya untuk memegang pahat sejak dini.
“Supaya budaya itu jangan hilang. Harus diajar ke anak-anak. Anak anak senang kalau diajar memahat,” ujarnya.
Selain memahat, para ibu-ibu juga membuat anyaman dari kulit kayu, membuat tikar dan berbagai bentuk tas.
“Kami sakit hati dijanji, jadi pemerintah jangan canangkan jadi kampung budaya lalu menghilang,” ujarnya lagi.
*Takut Budaya Mengukir Bisa Terkikis*
Timotius Samin salah satu tokoh Kamoro yang merupakan pengukir senior mengatakan, ukiran Kamoro sudah turunan dari Nenek Moyang Kamoro. Mengukir dipercaya sebagai bertemunya manusia yang hidup di alam gaib atau roh halus.
Seni ukir karya maramowe adalah ikon kebudayan suku Kamoro. Jenis-jenis ukirannya seperti yamate (perisai), wemawe (patung orang), po (dayung), paru (mangkuk sagu), eme (gendang), dan yang paling sakral adalah mbitoro (totem leluhur).
“Jadi semua ini yang tergambar didalam ukiran-ukiran ornamen diambil dari seisi alam sekitar alam Kabupaten Mimika, ada tulang ikannya, ingsan ikannya, gigi ikan hiu, gigi buaya, maupun kerangka burung taun-taun, kelalawar sudah diisi dalam bentuk ornamen dan terukir dalam bentuk satu patung,” jelasnya.
Timotius mengatakan orang Kamoro itu menyatu dengan alam, makanan asli khas suku Kamoro adalah sagu dan ikan.
“Hari ini saya habis makan besok pagi saya pergi ke hutan saya boleh dapat satu tumang (sagu) besar yang kita tebang, ikan kita tinggal panen di kali kita bentang jaring pakai umpan mata kail tetap dapat banyak. Jadi manusia Kamoro ini dimanjakan dengan alam sehingga ukiran pun tergambar dari alam,” ucapnya.
Yang sakral yakni patung Mbitoro memiliki keunikan. Pada waktu upacara pemasangan patung itupun dilakukan upacara adat. Dimana Mbitoro merupakan roh halus.
“Jadi diwaktu pemasangan patung ini (mbitoro) seperti biasanya patung ini diberi nama arwah terdahulu misalnya kepala suku atau salah satu tokoh yang sudah meninggal, yang dikenal di salah satu desa. jadi tidak diberi nama orang hidup,” jelasnya.
Nama tersebut akan dipanggil oleh pewaris pemanggil arwah dalam upacara pemasangan patung Mbitoro, untuk memasuki ruang patung.
Pengukir yang sudah senior yang disebut Maramowe ini sudah menguasai ilmu mengukir dan langsung bisa mengukir secara alamiah saat memahat.
“Pengukir Kamoro juga tidak sembarang, lebih banyak secara alamiah seperti ada kuasa ilham yang datang. Ada juga orang tuanya pengukir handal, tapi belum tentu anaknya menjadi pengukir, jadi itu seperti ada bakat ilham yang datang membuat seseorang menjadi ingin mengukir,” ungkapnya.
Timotius menuturkan, pengukir di kampung-kampung memang banyak namun mereka mengalami kesusahan. Mereka tidak terjamah pembinaan dan mentalitas.
Menurutnya, untuk membangun tanah Mimika ini, dibutuhkan kepedulian, pemerintah harus punya hati untuk membangun.
“Saya kira pemerintah kabupaten juga provinsi adalah orang-orang Papua semua dan mereka punya rasa kepedulian seperti apa untuk membangun. Rasa cinta tumpah darah, serta mau tinggalkan kepentingan perorangan dan lebih mengutamakan kepentingan masyarakat,” katanya.
Ia berharap ada perhatian pemerintah terhadap para pengukir asli Kamoro. Misalnya dengan membuat satu art shop untuk bisa membina generasi-generasi. Hal ini dianggapnya penting sebab hal yang ditakutkan oleh pengukir senior seperti Timotius adalah jangan sampai masyarakat Kamoro kehilangan budaya mengukir.
“Saya takut terkikis pelan-pelan lalu generasi penerus bisa melupakan budaya,” katanya.
Timotius yang sudah membawa nama negara, provinsi dan Kabupaten hingga ke German, Swiss, Bulgaria, Australia dan negara lainnya untuk memperkenalkan budaya, mengaku orang dari luar negeri memiliki kepedulian yang tinggi terhadap seni ukir. “Saya harap kita di sinijuga bisa menghargai karya seni dan budaya Kamoro,” ucapnya.
Sampai sekarang kata Timotius, Pemerintah Kabupaten Mimika tidak menyiapkan satu tempat misalnya di airport untuk masyarakat memperjual belikan hasil-hasil karya ukirannya.
“Yang bisa masuk cenderamata mungkin mereka ada berminat bisa ambil. Itu yang sekarang menjadi kesulitan. Pemerintah bisa melihat secara jernih. Saya sudah sampai dimana-mana, harapan saya supaya jangan sampai ukiran kamoro punah, supaya bisa lebih maju dan berkembang terus bisa membawa dampak ekonomi yang baik untuk masyarakat,” pungkasnya.
*Pemerintah Sedang Berupaya*
Sekertaris Dinas Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga, Sriyanti Ramping menerangkan tahun 2022, anggaran APBD belum ada untuk program bagi Kampung Budaya di Iwaka.
“Khusus Tahun ini anggaran APBD belum ada. nanti dilihat di APBDP, seperti tahun 2021 bantuan pembangunan pondok-pondok jualan ukiran adanya di APBDP,” jelas Sri kepada Seputarpapua.com.
Sri menjelaskan mengenai pemasaran bukan tupoksi dari pihak Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga.
“Karena ada tupoksi pemasaran di OPD lain salah satunya Disperindag, Harapan kami teman-teman di Disperindag bisa mengakomodir,” ucapnya.
Dijelaskan yang dilakukan selama ini sesuai dengan tupoksi dari yang ada di bidang kebudayaan dan Pariwisata yakni membina dan menggali potensi budaya.
“Kami juga sudah berusaha membantu pemasaran sesuai dengan kapasitas kami salah satunya yaitu berupa pameran hasil Kerajinan ukir dan anyam. Tahun ini kami mencoba dari bidang Pariwisata untuk membuat Website untuk membantu memperkenalkan sekaligus memasarkan hasil ukiran masyarakat, namun masih banyak hal prinsip hukum juga yang harus kami penuhi karena tidak semudah itu kami menjual produk budaya,” pungkasnya.
Tinggalkan Balasan
Anda Harus Login untuk berkomentar. Belum Punya Akun ? Daftar Gratis