Sarjana Muda Banting Setir Menjadi Seniman
KEEROM | Seorang sarjana akuntansi ini, sejak lulus belum memiliki pekerjaan tetap. Dia pun rela harus menjadi kuli bangunan, namun pekerjaan tersebut kini telah ditinggalkannya dan beralih menjadi pelaku seni rupa di Bumi Cenderawasih.
Dia adalah Yafet Maxi Kemesrar. Sempat menjadi pengangguran selama 3 (tiga) tahun, lulusan Universitas Ottow Geissler Papua tahun 2019 tak putus asa bangkit mandiri demi menyambung hidup keluarga.
Hembusan angin menjatuhkan beberapa helai daun disekitar pria 27 tahun yang tengah memungut kelapa tua di atas tanah berbalut alang-alang dan rerumputan.
Bersama sang istri Kristina Dwemanser menyusuri kebun kecil dibelakang rumah, tak jarang mereka berdua memungut sisa-sisa sabuk kelapa di sepanjang jalur tujuh Arsopura, Distrik Skanto, Kabupaten Keerom.
Maxi memungut buah kelapa dibelakang rumahnya
Walaupun ijasah sarjana akuntansi ditangan, mengadu nasib mencari pekerjaan ke berbagai perusahaan bahkan beberapa kali mengikuti tes Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) sudah dia lakukan. Namun, keberuntungan belum memihak kepada dirinya.
Ia tak putus asa, tangannya pun harus mandi keringat menjadi kuli bangunan mulai dari Jayapura, Sarmi, Sorong dan kembali ke Keerom, hanya untuk menyambung hidup keluarganya.
Roda berputar tanpa henti, sejak tahun 2014 ia merintis usaha jual pinang dan beberapa jenis buah-buahan dari Keerom ke pasar Hamadi, Kota Jayapura.
Dua tahun setelah itu, dirinya terpanggil untuk membuat sebuah karya topi mahkota asal Papua dan berupaya mengais rejeki dari hasil jualan karya-karya tersebut.
Maxi mengupas kelapa tua untuk mendapatkan pola badan dan kepala Cenderawsih.
Pria asal Sorong, Papua Barat ini secara perlahan-lahan mendapatkan jati dirinya dalam karya-karya seninya.
Upaya mencari jati diri ini tercapai, namanya masuk dalam satu dari sekian banyaknya seniman untuk bergabung kedalam tim seni rupa kostum tari-tarian dan cinderamata bernuansa Papua yang di komandoi pelaku seni dari Jawa Barat.
Sarjana akuntansi ini terus berkarya sepanjang Pekan Olahraga Nasional (PON) Papua XX dilaksanakan Sabtu (2/10/2021) hingga Jumat (15/10/2021) tahun lalu.
Tak hanya itu, ia pun mulai dipanggil beberapa panitia dari Pekan Paralimpik Nasional (PEPARNAS) XVI 2021 untuk terlibat juga dalam even olahraga nasional itu.
Proses membuat pola kepala replika burung Cenderawasih.
Dari sinilah, dirinya mendapatkan kepercayaan diri untuk terus mengasah bakat terpendamnya yang sudah ada sejak dari keluarganya, salah satu dari om kandungnya bernama Agus Soleman Woloin (60) di Kampung Melaswat, Distrik Saifi, Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat.
Namun, apalah daya hasil berjualan pinang dan buah yang ditekuni istri untuk memodali suaminya itu, kadang kala harus habis terpakai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Berdiri sendiri tanpa pinjaman modal dan tanpa bantuan pemerintah, Maxi terus berusaha dengan modal percaya akan adanya Tuhan Yang Maha Esa untuk mengubah sedikit demi sedikit perekonomian keluarganya.
Kandas di modal membeli bensin untuk menjual karya di pasar Hamadi, Kota Jayapura. Ia pun membuka lapak kecil didepan rumahnya yang ada di jalur 7B Arsopura, Distrik Skanto, Kabupaten Keerom.
Maxi membuat pola dari kulit kelapa untuk dijadikan bulu replika burung Cenderawasih.
Sesekali, ia ataupun istrinya menumpang mobil ke arah Kota Jayapura hanya untuk menjual karya tangannya dan ia syukuri bisa menyekolahkan dua anaknya Karolina Dolfince Dika Kemesrar (5) dan
Yohanis Rulan Simon Kemesrar (4) di Taman Kanak-Kanak (TK) Kalam Kudus Arsopura, Keerom.
“Saya bersyukur kepada Tuhan, bisa sekolahkan dua anak saya dari hasil kerja keras saya dan istri. Walaupun kami bermodalkan hasil kebun, tetapi kami tetap syukuri semua itu,” kata Maxi sambil tertunduk malu saat menceritakan perjalanan hidupnya bersama istri mengarungi kehidupan.
Ia tak mau menadah tangan atau meminta-minta hanya untuk membiayai keluarga. Dirinya sangat yakin dan percaya akan kekuatan Tuhan serta talenta yang ia kembangkan untuk membangun kepercayaan keluarga kepada dirinya sebagai kepala rumah tangga.
“Saya mempunyai keinginan dan rencana membuka sanggar tari bagi anak-anak dari suku manapun yang mau belajar tarian adat Papua di rumahnya. Ini juga sebagai bakat saya di dunia tari yang sudah ada sejak saya kecil,” ujarnya.
Proses membuat tubuh replika burung Cenderawasih.
Dirinya pun terpanggil menjadi satu bagian dari Karang Taruna Waisamba Arsopura di bidang seni budaya yang diketuai Wendy Sulaiman.
Mulai dari sini, kata Maxi, ia dapat kembangkan serta salurkan bakat seninya kepada khalayak masyarakat Distrik Skanto bahkan se-Kabupaten Keerom.
“Karya yang saya buat, memang belum begitu banyak dan masih perlu polesan-polesan, agar menjadi karya yang indah. Tapi saya tetap percaya, hari bahagia akan datang suatu saat nanti,” kata pria kelahiran Melaswat, Sorong Selatan yang merantau ke Jayapura sejak tahun 2012 lalu saat masuk kuliah di Universitas Ottow Geissler Papua.
Maxi beraktivitas membuat karya seni di lapak miliknya.
Kini, tanpa henti ia terus beraktivitas dengan membuat karya-karya untuk mengangkat Papua ke seantero negeri bahkan luar negeri.
“Keinginan saya, bisa bersaing dengan seniman dari luar Papua, walaupun saya hanya punya modal kecil, tanpa bantuan dari sana sini,” ujarnya.
Maxi menata jualan hasil buatan tangan di lapak miliknya.
Teruslah berkarya pria sarjana akuntansi, jangan patah semangat dan bangkit berdiri jika rintangan kecil besar menjatuhkanmu. Jagalah kelestarian lingkungan masing-masing dengan menciptakan karya kreatif anak bangsa.
Tinggalkan Balasan
Anda Harus Login untuk berkomentar. Belum Punya Akun ? Daftar Gratis