PAGI ini aku bersama rekanku memacu motor menuju arah Jalan Agimuga Mile 32 Distrik Kuala Kencana, Kabupaten Mimika Provinsi Papua Tengah. KBami mengunjungi Taman Kanak-kanak (TK) yang seluruh muridnya adalah anak-anak generasi Suku Amungme.
Suku Amungme adalah suku asli di Kabupaten Mimika, selain suku kamoro atau Mimika Wee.
Perjalanan ke TK tersebut memakan waktu kurang lebih 30 menit dari Kota Timika, Ibu Kota Kabupaten Mimika. Letaknya cukup jauh dari hirukpikuk kota. Sebelum masuk ke halaman TK, jalan berkerikil dan batu namun rapi menyambut kami.
Terlihat dua bangunan bergaya rumah adat Papua berdiri kokoh. Dari luar bangunan tersebut dilapisi papan, namun ketika masuk ke dalam, ubin putih dan dinding tembok yang dicat sewarna dengan lantai dengan atapnya dari seng berdiri menaungi para generasi Amungme yang sedang belajar.
Ketika tiba, kami disambut Araminus Omaleng dan istrinya Yohana. Mereka berdua adalah bagian dari enam orang lainnya sebagai pendiri Yayasan Gerbang Terang Timur yang menaungi TK Nangmora.
Araminus menjelaskan TK Nangmora berdiri pada 2020. Namanya dalam bahasa Amungme berarti “Sumber Cahaya”, TK dibentuk dibawah naungan Yayasan yang didirikannya bersama istri juga dua rekan nya bersama istri mereka.
“Kenapa kita dirikan (TK) karena pertama pengalaman pribadi saya yang anak asli Amungme, kita hampir rata-rata tidak pernah ke TK, atau punya kesempatan belajar dari nol,” katanya saat ditemui disalah satu gedung TK Nangmora, Selasa (23/5/2023).
Menurut Araminus tidak menempuh TK membuat anak-anak sulit menyesuaikan diri dengan jenjang pendidikan berikut yakni sekolah dasar.
“Jadi belajar dari pengalaman itu pada 2018 saya selesai kuliah itu, saya melihat ini (minimnya anak-anak Amungme bersekolah TK) masih masalah,” ungkap pria berjenggot yang berhenti menjadi karyawan swasta untuk fokus mengurus TK tersebut.
Araminus yang melihat hal tersebut sebagai masalah, selaku anak asli Amungme terpanggil untuk membantu menanganinya.
“Karena ini sebuah masalah, kita yang alami, kita yang melihat, dan kita juga yang harus menutup celah itu, makanya kita fokusnya ke TK,” ujarnya saat menemani kami duduk melantai bersama sang istri.
Araminus menyebut TK Nangmora adalah kebanggan orang Amungme karena TK pertama di Mimika yang dibangun oleh anak Amumgme dan khusus untuk anak Amungme.
“Niat kami juga membantu anak-anak tempat lain atau Papua pada umumnya, tapi kami kenapa kami fokus gemas dengan anak-anak Amungme, melihat mereka masih jalan kesana kemari tanpa tujuan, Mama-mama kasih tinggal karena harus ke kebun, akhirnya mandi-mandi di kolam sakit, ini dari dulu,” paparnya.
Araminus dan rekannya di Yayasan Gerbang Terang Timur memiliki mimpi menghadirkan 1000 fasilitas pendidikan PAUD di Mimika.
“Kita ingin memaksimalkan PAUD untuk anak-anak daerah asli di sini Amungme, dan karena mayoritas kami dari Gereja Kingmi, kami ingin dimana ada gereja itu, ada TK berdampingan dengan gereja supaya anak-anak tidak terlantar, itu kondisi real (kenyataan) yang membuat kami terpanggil untuk menutup celah itu, sehingga tercipta generasi muda Amungme yang unggul” ucapnya.
Araminus membeberkan biasanya anak-anak Amungme ketika sudah cukup umur untuk bersekolah, langsung ditempatkan di asrama untuk menempuh sekolah dasar. Menurutnya hal itu perlu dirubah, sehingga ia mengaku melakukan sosialisasi pentingnya PAUD bagi anak-anak Amungme bagi orangtua selama dua bulan sebelum akhirnya membuka TK Nangmora.
“Kita ini sudah di kota kenapa masih tunggu anak-anak umur 7 tahun baru buang saja ke asrama baru kasih tinggal, ini kan kebiasaan seperti ini harus dibatasi kalau ingin punya anak-anak generasi Amungme yang bersaing di dunia pendidikan harus dibina dari kecil dan harus dimulai dari dalam rumah,” tegasnya.
Kebiasan langsung menempuh SD dan asrama, menurut Araminus, membentuk karakter anak yang tidak dekat dengan orangtua, sehingga dengan adanya TK Araminus dan istri juga rekannya, ingin mengajarkan orangtua untuk memperhatikan anak mereka yang masih usia dini.
“Dengan hadirnya TK ini tuh secara tidak langsung mengajarkan orangtua mereka untuk bertanggungjawab kepada anak, contohnya mama, bapa duduk pegang tangan berdoa, antar anak-anak, siapkan makan dan minum, kasih mandi anak, bawa kesekolah dan jemput,” jelasnya.
Araminus menilai ketika kebiasaan tersebut bisa diterapkan maka itu adalah sebuah pencapaian besar.
“Awalnya sulit (mendidik) orangtua, tetapi karena orangtua melihat itu hal baru semangat mereka luar biasa, yang biasanya buru-buru langsung ke kebun anak-anak dibiarkan kali ini tidak ada,”
kata Araminus.
“Itu kebanggan bagi saya karena itu membuat orangtua sadar bahwa PAUD itu penting,” imbuhnya.
Suasana kegiatan belajar mengajar di TK Nangmora yang berada di Jalan Agimuga, Mile 32, Mimika, Papua Tengah (Foto: Charlan Biru/Seputarpapua)
TK Nangmora selama beberapa tahun berdiri, baru tahun 2021 lalu dapat bekerjasama dengan satu donatur yakni Kita Papua Kompeten untuk memberikan gaji guru.
Yohana istri Araminus menyebut TK Nangmora telah meluluskan sekitar 38 anak dari total murid sekitar 60 dari dua angkatan. Sementara untuk angkatan ketiga di tahun ini sesuai daftar pokok pendidikan terdaftar 28 anak.
“Kami juga didik-didik anak-anak yang tidak punya data tetapi mereka di usia PAUD sehingga total anak di tahun 2023 ada 35 murid,” ungkapnya.
“(Lulusan) generasi pertama 24 dan generasi kedua 14 yang lainnya itu mereka harus ke kampung ikut orangtua mereka, anak-anak ini kan rata-rata anak orang-orang dari Banti, jadi harus ikut kalau orangtua berpindah tempat,” katanya.
Kendala lainnya kata Yohana adalah ketika ada kegiatan bakar batu atau kedukaan anak-anak akan meliburkan diri berminggu-minggu.
“Kalau kita harus ikut kalender Dinas Pendidikan itu kan terlambat, padahal ada yang harus kita kejar, materi juga, tetapi kita harus sadar, kita ditengah masyarakat sehingga tidak bisa juga kita bawa paham dari luar untuk dipaksakan ikut,” ucapnya.
Pemerintah pun melalu Dinas Pendidikan menurut Yohana sangat membantu dalam kepengurusan pendirian TK Nangmora hingga saat ini mendapatkan bantuan operasional sekolah.
“Kami dapat bantuan pemerintah daerah dan pusat, kami sangat bersyukur meskipun masih kurang tetapi itu sudah sangat cukup menolong,” katanya.
Jumlah guru di TK Nangmora ada 2 guru tetap dan 2 guru volunteer (sukarelawan) dan 1 orang operator.
Yohana menjelaskan pembelajaran di TK Nangmora tidak jauh berbeda dengan TK lainnya yang menerapkan kurikulum merdeka belajar.
“Kami ada tema yang dipakai untuk belajar setiap bulan, dan semester, cara mengajarnya juga sama, tapi kita juga fleksibel kalau anak-anak bilang bosan mau main yah kami bermain,” terangnya.
Uniknya di sekolah TK ini mereka mencoba untuk melokalkan semua materi yang diberikan kepada anak.
“Contohnya belajar soal jatidiri nah disitu di dalam buku panduan orang rambut lurus kulit putih, rumah adatnya dari luar kami rubah semua sesuai budaya lokal, jadi orang Papua, jadi mereka cepat connect (paham),” paparnya.
Pun begitu kata Yohana tidak semua materi dapat disesuaikan dengan budaya lokal.
“Nama TK kita ini kan sudah lokal, gedung lokal, kami juga mau materi (dilokalkan) sehingga itu lansung bersentuhan dengan anak-anak yang belajar, sehingga mudah ditangkap, itu juga sesuai dengan moto yayasan yang ingin membuat pendidikan berkonteks lokal,” katanya.
Di TK Nangmora, anak-anak sebelum aktivitas belajar mengajar dimulai dengan doa, anak-anak juga makan bersama.
“Kami hampir tiap hari makan bersama, makanya kami siapkan air dan minimal ada biskuit, karena ada beberapa kasus ada anak yang datang belum sarapan, nanti tutup bulan kita makan berat, atau yah makan bersama begitu,” ucapnya.
Sebelum kami berpamitan setelah 30 menit berbincang, Araminus dan Yohana menyampaikan harapnya kedepan TK Nangmora bisa menjadi “Sumber Cahaya” bagi generasi muda Amungme, selain itu lebih banyak pihak terlibat dalam sosialiasi pentingnya pendidikan usia dini bagi anak-anak suku asli di Papua.
Tinggalkan Balasan
Anda Harus Login untuk berkomentar. Belum Punya Akun ? Daftar Gratis