Sejak tanggal 4 Desember 2012, Noken ditetapkan sebagai warisan budaya UNESCO, menjadi warisan budaya tak berbenda (Intangible Cultural Heritage) dunia oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Tanggal 4 Desember kemudian ditetapkan sebagai hari Noken, yang setiap tahun diperingati oleh masyarakat Papua karena menjadi kebanggaan.
Untuk mempertahankan agar Noken tetap menjadi warisan budaya dunia banyak perjuangan yang perlu dilaksanakan.
Perjuangan ini diaplikasikan oleh seorang anak asli Papua, yakni Marshall Suebu yang merupakan ketua sanggar Seni Budaya Reymay Jayapura. Kini ia gencar memperkenalkan program Noken Masuk Sekolah atau NOMASE.
Kepada Seputarpapua.com, Marshall menjelaskan berdasarkan permintaan PBB yakni UNESCO sebagai badan lembaga budaya dunia kepada Pemerintah Indonesia, bahwa ketika Noken ditetapkan sebagai warisan budaya dunia, maka ada tugas penting yang harus dikerjakan oleh Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat adalah pelestarian dan perlindungan Noken.
Dimana setiap empat tahun sekali, pemerintah Indonesia wajib memberikan laporan kepada UNESCO apa saja program perlindungan, pelestarian Noken di Papua.
“Kalau ditetapkan tahun 2012, maka empat tahun pertama adalah 2016, berikutnya 2020, lalu nantinya 2024,” kata Marshall.
Tahun 2020 ada beberapa catatan penting, yakni pertama kemampuan merajut atau menganyam noken harus diturunkan dari generasi yang berusia lanjut kepada generasi muda.
“Contohnya di daerah Tabi, perajut noken usia paling muda sekitar 50-60 tahun keatas. Kalau dengan usia bertambah kemudian perajut tidak kuat lagi maka kemampuan merajut itu bisa hilang, itu yang diharapkan UNESCO kepada pemerintah Indonesia dan Pemda Papua dan Papua Barat harus ada program menurunkan keterampilan merajut itu yang dimiliki oleh setiap suku sekitar 300an suku dan bahasa itu kepada generasi muda,” ungkapnya.
Kemudian kedua, adalah Noken juga harus terus diperkenalkan dan disosialisasikan mengenai nilai luhurnya, multi fungsinya yang merupakan warisan nenek moyang kepada semua orang agar bisa dipahami.
Ketiga, yang tidak kalah pentingnya adalah karena bahan dasar Noken diambil dari bahan seperti kulit kayu, serat kayu, bunga, akar, daun, maka bahan-bahan tersebut perlu untuk terus dilestarikan dan harus terus tersedia di hutan Papua.
“Masyarakat harus akses dengan alam yang lestari untuk melahirkan karya-karya Noken yang asli. Itu adalah item penting yang setiap tahun dipertanyakan oleh BPP dalam hal ini UNESCO terhadap Pemerintah Indonesia apa yang pemerintah lakukan untuk pelestarian dan perlindungan,” ujarnya.
Para siswa saat belajar merajut noken. (Foto: Ist for Seputarpapua)
Marshall Suebu bersama tim sanggar Seni Budaya Reymay Jayapura melihat nyawa menganyam noken akan hilang ketika generasi tua sudah tidak ada lagi.
Akhirnya mereka termotivasi untuk memperjuangkan agar Noken tetap menjadi warisan dunia. Pasalnya yang ditakutkan adalah sempat ada peringatan pada tahun 2020 dari UNESCO yang hampir saja mengeluarkan kebijakan Noken tidak lagi menjadi warisan dunia, tapi warisan biasa saja karena salah satu kriteria penting adalah menurunkan skill merajut atau menganyam dari generasi tua ke generasi muda itu tidak dilakukan sama sekali.
Untuk itu, mereka giat mempersiapkan kegiatan sosialisasi mengenai noken kepada generasi muda. Berawal dari program yang disebut Komunitas Noken Papua (Konopa), kelompok sanggar Seni Budaya Reymay Jayapura, yang berusia muda mulai belajar menganyam Noken yang diajarkan oleh perajut yang sudah berusia lanjut hingga mereka kini bisa menjadi instruktur bahkan ada instruktur muda yang masih duduk di bangku SD.
Karena sudah mempersiapkan semua hal, mereka mencoba mencari peluang dengan mendaftarkan diri di salah satu program Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) dan mendapatkan dukungan.
Niat baik tersebut akhirnya membuahkan hasil, Sanggar Seni Budaya Reymay Jayapura akhirnya melahirkan salah satu program yang disebut Noken Masuk Sekolah (Nomase).
“Saya namakan Nomase artinya semua tentang Noken, mulai dari apa itu Noken, fungsi Noken, bagaimana melestarikan bahan baku, tahapan pembuatan Noken semuanya kita berikan edukasi mulai dari tingkat SD hingga SMA, puji Tuhan program Nomase ini diterima baik oleh Dirjen Kebudayaan Kemendikbudristek,” katanya.
Dalam tahap pertama program Nomase, Sanggar Reymay menjadika lima sekolah sebagai percontohan di Kabupaten Jayapura, yakni SD Negeri Kemiri, SMP Negeri 2 Sentani, SMA YPPK St. Asisi Sentani, SMA Negeri 1 Jayapura, dan SLA Doyo Baru, Tim sanggar Reymay mendatangi sekolah tersebut lalu mensosialisasikan Noken hingga mengajarkan bagaimana cara merajut Noken asli. Kegiatan ini berlangsung sejak bulan Agustus dan rencananya akan berakhir dalam tiga tahap hingga Oktober nanti.
Tahap kedua sudah dilaksanakan pada 15 September 2022. Hasil dari sosialisasi di sekolah, 20 anak dari masing-masing sekolah tersebut diundang untuk diberikan workshop 100 remaja merajut Noken di tempat Sanggar Seni Budaya Reymay, Kemiri Sentani. Di sana mereka kembali diberikan pemahaman tentang Noken juga bagaimana tahapan membuat noken hingga praktek membuat noken.
Hasil dari sosialisasi dan pembuatan Noken ini, nantinya pada tahap ketiga anak-anak tersebut diberikan kesempatan untuk memamerkan karya mereka dalam kegiatan pameran hasil dari Nomase yang rencananya akan digelar pada akhir September mendatang.
“Kita coba lima sekolah sebagai percontohan dulu, kita berharap jika ini berjalan dengan baik maka akan kita aplikasikan ke sekolah-sekolah lainnya bukan hanya Jayapura tapi di tujuh wilayah adat yang ada di Papua agar lebih luas lagi, sehingga kita berharap tahun 2024 nanti kita bisa menjawab pertanyaan UNESCO,” kata Marshall.
Marshall mengatakan dari 100 kandidat ini, memang menjadi target agar semua bisa menganyam atau merajut Noken asli namun tak muluk-muluk, jika bisa mencapai 20-50 persen dari target menurutnya sudah merupakan usaha yang luar biasa.
Sebab dari 100 remaja tersebut tidak hanya perempuan yang dilibatkan namun ada juga remaja laki-laki.
“Itu bukan hanya perempuan tapi laki-laki. Ini kan tidak sama kemampuan merajut antara perempuan dan laki-laki, sehingga kalau kita bisa dapat 50 persen dari 100 itu sudah luar biasa. Intinya mereka bisa mengetahui bagaimana merajut dengan benar,” ujarnya.
Kata Marshall, para siswa terlihat bersemangat mengikuti setiap materi yang diberikan. Namun untuk merajut Noken harus dilatih terus menerus apalagi di era sekarang anak sekolah lebih banyak menggunakan jari-jari untuk mengetik di android.
“Jadi kita berusaha mencoba dengan berbagai metode sehingga anak-anak tidak hanya sibuk di gadget tapi mereka bisa sisihkan waktu dengan merajut Noken karena itu budaya dunia budaya kita orang Papua,” ungkapnya.
Untuk peran pemerintah dalam mendukung program yang dicetuskan oleh Sanggar Seni Budaya Reymay Jayapura ini menurut Marshall, pemerintah pusat melalui Dirjen kebudayaan Kemendikbudristek sudah sangat memberikan dukungan.
Namun saat ini mereka sedang mencoba mendapatkan dana hibah dari pemerintah pusat agar bisa lebih giat dan memperluas program Nomase tersebut. Untuk mendapatkan dana hibah tersebut kini sedang diusahakan oleh Sanggar Reymay ditengah persaingan sebab hibah tersebut berstandar nasional dan seluruh Indonesia tentu memperebutkan hibah tersebut.
“Kita berharap pemerintah pusat bisa memberikan juga semacam hibah dan kemudian kita bisa ikut aturan mainnya,” kata Marshall.
Sementara itu Pemerintah Provinsi Papua kata Marshall dalam hal melestarikan Noken sebenarnya sudah ada kebijakan, misalnya pemerintah membuat UPTD Noken, namun kata Marshall belum berjalan maksimal.
“Sehingga kita berharap supaya bisa dimaksimalkan agar kerja-kerja misalnya kami dari sanggar, komunitas, club akan berpadu dengan teman-teman dari pemerintahan dan juga sektor lain seperti pihak swasta sehingga sama sama kita lakukan perubahan-perubahan meklestarikan Noken,” pungkasnya.
Tinggalkan Balasan
Anda Harus Login untuk berkomentar. Belum Punya Akun ? Daftar Gratis