Pempus Targetkan 2 Juta Ha Lahan Tebu di Merauke, Pemilik Ulayat: Belum Ada Kesepakatan

Lahan perkebunan tebu milik PT. Global Papua Abadi di Sermayam, Distrik Tanah Miring, Merauke. (Foto: Hendrik Resi/Seputarpapua)
Lahan perkebunan tebu milik PT. Global Papua Abadi di Sermayam, Distrik Tanah Miring, Merauke. (Foto: Hendrik Resi/Seputarpapua)

MERAUKE, Seputarpapua.com | Pemerintah Pusat (Pempus) menargetkan pembukaan 2 juta hektare lahan yang akan dijadikan proyek strategis nasional (PSN) dalam rangka swasembada gula dan bioetanol melalui investasi perkebunan tebu di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan.

Pengembangan 2 juta hektar perkebunan tebu di Merauke akan terintegrasi dengan industri gula, bioetanol dan pembangkit listrik biomassa. Investasi kebun tebu ini terbagi dalam 4 klaster dan melibatkan investor dari BUMN, swasta dan perusahaan asing.

Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia mengatakan, proyek strategis nasional investasi perkebunan tebu melibatkan masyarakat setempat dalam kolaborasi menjalankan usaha dengan skema inti plasma.

“Skema kemitraan inti plasma akan diterapkan dalam investasi perkebunan tebu terintegrasi di Merauke. Dalam skema itu, inti (investor) memiliki tugas untuk membantu plasma (masyarakat setempat) mengembangkan usaha perkebunan,” kata Bahlil dalam keterangan tertulisnya pada Sabtu, 18 Mei 2024.

Sehari sebelumnya, pada Jumat, 17 Mei 2024, Menteri Investasi/Kepala BKPM ini meninjau lokasi perkebunan tebu milik PT. Global Papua Abadi di kawasan Sermayam, Kampung Ngguti Bob, Distrik Tanah Miring, Kabupaten Merauke.

Menteri Bahlil menyebutkan, investor mendukung masyarakat berupa pembiayaan, bantuan teknologi dan berbagai pembinaan lainnya agar plasma dapat menghasilkan panenan tebu yang akan diolah investor.

“Hal ini harus dilakukan agar industri dan masyarakat setempat dapat maju bersama. Supaya tidak ada terjadi intinya maju, tapi plasmanya mati. Biasanya kita punya sawit-kan seperti itu. Inti hidup plasma mati,” kata Bahlil.

Menurut Bahlil, ada tiga hal yang diwajibkan kepada perusahaan. Pertama; hak-hak masyarakat tidak boleh diabaikan. Kedua; menerapkan pola inti plasma, dan ketiga; melibatkan pengusaha lokal serta menyerap tenaga kerja lokal.

“Terkait kompensasi perusahaan kepada pemilik hak ulayat, hak-hak adat itu harus diselesaikan. Sebelum HGU-nya diserahkan maka harus ada pelepasan adat, pelepasan adat itu termasuk di dalamnya adalah hak-hak masyarakat adat,” tegasnya.

Advertisements

“Saya katakan boleh kita masuk investasi di sana, tapi kita harus pastikan hak-hak di daerah. Hak-hak daerah harus kita perhatikan, pelepasan tanah adat kita perhatikan. Dan harus ada orang daerah yang ikut dalam usaha tersebut,” ujarnya.

Di sisi lain, pemilik ulayat di kawasan pengembangan investasi perkebunan tebu mengaku belum ada penyelesaian kompensasi atau kesepakatan terkait kontrak lahan yang dipakai perusahaan sekaligus membuat perjanjian tertulis.

Pemilik Ulayat dari Kampung Bath, Sergius Kaize mengatakan pertemuan antara perusahaan dan pemilik ulayat pernah terjadi di tahun 2012. Saat itu perusahaan hanya memberikan tali asih Rp2 miliar lebih kepada tujuh marga pemilik hak ulayat. Soal kontrak lahan dan tanggung jawab perusahaan masih sebatas pembicaraan lisan dan belum ada perjanjian tertulis.

“Saat itu perusahaan minta jangka waktu kontrak 35 tahun, tapi akhir-akhir ini kami pemilik ulayat maunya hanya 25 tahun. Tapi kami belum duduk lagi untuk membicarakan itu,” aku Sergius kepada awak media di Semayam, Tanah Miring, Merauke, pada Jumat.

“Kami memang diberikan uang Rp2 miliar lebih pada 2012, tapi itu tali asih, bukan uang kontrak lahan. Untuk kontrak per meter atau hektarnya juga belum ada pembicaraan,” ungkapnya.

Perihal kontrak atau perjanjian, kata Sergius Kaize, pihaknya minta agar perusahaan membuat perjanjian kerja sama dalam bentuk tugu. Dan tugu tersebut harus dibangun di kampung-kampung pemilik ulayat, termasuk di areal operasional perusahaan.

Advertisements

“Kami mau itu perjanjiannya tidak hanya tertulis di kertas, tapi dibuat dalam bentuk tugu yang mana ada perjanjian tertulis di situ. Kami minta tugunya dibangun di Kampung Bath, Wapeko, Senayu, Salor, Jagebob, Semayam serta di lokasi perusahaan,” sebutnya.

Senada dengan itu, Ketua Adat Wilayah Sosom, Kasimirus Wandri Kaize menyebutkan lahan tujuh marga itu seluas 180 ribu hektare. Namun yang dipakai perusahaan sekitar 150 ribu hektare, karena harus dipilah-pilah terkait tanah sakral dan rawa-rawa untuk tidak digunakan sebagai kebun tebu.

“Tujuh marga itu Kaize, Ndiken, Samkakai, Gebze, Mahuze, Balagaize dan Basik-Basik. Kami juga minta supaya kali-kali yang ada tidak dibuat menjadi drainase buatan, biarkan itu sesuai alamnya dan menjadi sumber kehidupan,” kata Kasimirus.

“Hari ini pas menteri datang, kami diundang ke sini untuk membicarakan berbagai hal (soal hak ulayat, perjanjian/kontrak), tapi saya heran kenapa tidak semua marga hadir. Yang hadir ini baru kami saja,” tandasnya.

Sebagaimana diketahui, saat ini lahan investasi perkebunan tebu dikelola PT. Global Papua Abadi seluas 506 hektare dengan nilai investasi Rp53.8 triliun. Lokasi perkebunan itu berada di Kampung Ngguti Bob, Distrik Tanah Miring, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan.

penulis : Hendrik Resi
editor : Saldi Hermanto

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Seputar Papua. Mari bergabung di Grup Telegram “Seputarpapua.com News”, caranya klik link https://t.me/seputarpapua , kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Tinggalkan Balasan