TIMIKA | PT. Freeport Indonesia (PTFI), perusahaan pertambangan yang dinilai memiliki tantangan besar dalam memenuhi ekspektasi pencapaian SDG10, mengingat kondisi awal ekonomi dan sosial di tempat operasinya memang menantang.
Meski begitu, segala upaya yang telah dilakukan dengan petunjuk dari berbagai kebijakan dan standar, termasuk ICMM, membuat PTFI berada pada jalan yang mengarah pada pencapaian. Tahun 2030 kemerataan sosial dan ekonomi di wilayah operasi PTFI diharap bisa membaik.
“Bagaimanapun, kemerataan itu dapat tercapai jika terjadi sinergi dan kolaborasi yang baik antar pemangku kepentingan, baik masyarakat, pemerintah, lembaga adat, LSM, maupun pihak swasta,” kata Jalal, Pemerhati Keberlanjutan Perusahaan.
Jalal mengamati, PTFI paham betul bagaimana ekspektasi untuk semakin banyak dan tinggi proporsi karyawan asli Papua benar-benar menjadi isu yang dikelola dengan serius.
Sejalan dengan itu, para pemangku kepentingan sepakat bahwa untuk bisa meningkatkan jumlah dan proporsi karyawan asli Papua, pendidikan dan pelatihan adalah kuncinya.
PTFI telah mendirikan dan mengelola 5 asrama untuk mereka yang berasal dari dataran tinggi Kabupaten Mimika, sekaligus sekolah yang diprioritaskan untuk menampung anak-anak tujuh suku yang diseleksi oleh lembaga pengelola dana kemitraan, yaitu YPMAK, yayasan yang tadinya bernama LPMAK (Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme Kamoro).
Melalui dana kemitraan bagi pengembangan masyarakat, PTFI juga memberikan beasiswa kepada anak-anak yang berasal dari 7 suku—khususnya Amungme dan Kamoro—mulai dari tingkat pendidikan dasar sampai perguruan tinggi bagi siswa yang terpilih melalui seleksi yang dilakukan mitra profesional.
Sejak 1996 hingga sekarang, PTFI telah memberikan beasiswa kepada 10.736 anak dari berbagai tingkatan pendidikan dan jurusan.
Sekolah Asrama Taruna Papua di SP 4 Kota Timika, salah satu kontribusi PT Freeport Indonesia di bidang Pendidikan untuk anak-anak asli Papua. (Foto: PTFI/Seputarpapua)
Di samping itu, bantuan pendidikan lain termasuk pendukung operasional pendidikan juga diberikan. Termasuk transportasi untuk menjemput dan mengantar anak-anak dari lokasi-lokasi terpencil, pengadaan guru bantu, pemberian kelas matrikulasi untuk penyesuaian anak-anak yang akan melanjutkan studinya di luar Papua.
“Walaupun kini majoritas saham PTFI telah dimiliki oleh Pemerintah Indonesia melalui MIND ID, BUMN holding pertambangan, namun kebijakan dan praktiknya terus dipandu oleh ekspektasi ICMM,” kata Jalal.
Kembali lagi, Jalal mengatakan bahwa perusahaan pertambangan, di antara perusahaan-perusahaan dari sektor ekonomi lain – mungkin adalah yang paling memahami betapa pentingnya upaya untuk memastikan bahwa ketimpangan ekonomi dan sosial bisa diatasi.
“Perusahaan pertambangan tahu persis bahwa ketimpangan dapat menyebabkan bukan saja tekanan ekspektasi masyarakat, terkikisnya dukungan masyarakat terhadap perusahaan (social license to operate), melainkan juga gangguan keamanan yang membahayakan masyarakat maupun pekerja perusahaan,” katanya.
Oleh karena itu, menurut dia, walaupun sesungguhnya ketimpangan ekonomi utamanya adalah tanggung jawab pemerintah lewat kebijakan-kebijakan publik terkait redistribusi kekayaan, namun perusahaan tambang di manapun pasti memiliki perhatian atas isu ini.
“Secara umum, dengan pajak yang dibayarkan tentu saja perusahaan pertambangan telah berkontribusi dalam peningkatan ekonomi. Tetapi hal itu jelas tidaklah memadai di tingkat lokal, lantaran mekanisme redistribusinya belum tentu adil,” pungkasnya. (*)
Reporter: Sevianto Pakiding
Editor: Misba
- Tag :
- Beasiswa PTFI,
- Freeport,
- Freeport Indonesia,
- Tujuh Suku,
- YPMAK
Tinggalkan Balasan
Anda Harus Login untuk berkomentar. Belum Punya Akun ? Daftar Gratis