TIMIKA | Saat ini Pemda Mimika dan Polres Mimika tengah berupaya menekan penyebaran Covid-19.
Salah satu upaya yang dilakukan adalah memasang stiker di rumah warga yang terpapar Covid-19 dan menjalani Isolasi Mandiri (Isoman).
Lalu bagaimana dengan stigma dari masyarakat terhadap warga yang rumahnya dipasang stiker ditengah kebanyakan warga lainnya yang tidak mempercayai adanya Covid-19 dan berifikir Covid-19 adalah aib?.
Stigma adalah sebuah pikiran, pandangan, dan juga kepercayaan negatif yang didapatkan seseorang dari masyarakat ataupun juga lingkungannya. Stigma biasanya berupa labelling, stereotip, separation, serta diskriminasi sehingga hal tersebut dapat mempengaruhi diri seorang individu secara keseluruhan.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Mimika, Reynold Ubra mempunyai penjelasan terkait dua hal ini, stigma dan pemasangan stiker.
Reynold mengatakan, ada alasan kuat yang membuat pihaknya mengambil langkah tersebut dan akan melibatkan RT dan tokoh agama. Dinkes melibatkan RT karena RT merupakan perwakilan pemerintah yang paling dekat dengan masyarakat.
Dikatakan, belakangan terjadi fenomena kematian di rumah. Laporan terakhir yang diterima Dinkes, ada tiga kematian tidak wajar di rumah.
Untuk dibutuhkan pengawasan dan perhatian tidak hanya dari pihak keluarga, juga dari warga sekitar.
Untuk memastikan tidak ada lagi warga yang meninggal di rumah, kata Reynold, perlu dilakukan deteksi dini (Active Detection).
“Gejala ringan dan sedang yang isolasi di rumah ini butuh pengawasan. Pengawasan ini bukan dalam arti menciptakan stigma, tapi bagaimana kita awasi secara bersama-sama karena petugas kesehatan tidak mungkin 24 jam dengan keluarga yang terpapar,” kata Reynold ketika diwawancarai, Senin (2/8/2021).
Reynold mengatakan penolong yang paling utama adalah keluarga di rumah, dan orang di samping rumah atau tetangga.
“Tetangga adalah penolong utama supaya kalau dia (Pasien -red) sesak, dia kesakitan harus pergi ke Faskes (fasilitas kesehatan) itu bisa ada yang membantu. Ibaratnya seperti ibu melahirkan ketika tengah malam juga bisa ada yang membantu,” ujarnya.
Menurutnya pasien Covid-19 ataupun kontak eratnya jangan di stigma. Intinya adalah bagaimana semua pihak bisa menolong.
Dikatakan sekarang ini di dunia maju seperti hari ini stigma itu mestinya tidak boleh ada karena semua orang masing masing sudah mengetahui adanya Covid-19.
“Ketika pasien mencari akses layanan kesehatan atau saat mungkin dia harus ke pasar, saat tidak ada makanan, penolong utama adalah tetangga,” ujarnya.
Yang paling penting sekarang kata Reynold adalah humanis dan empati. Pasien pun harus jujur dan terbuka datang ke Faskes.
Namun Reynold menjelaskan, saat ini ada kendala orang datang ke faskes pada masa pandemi maupun sebelum pandemi Covid-19.
Pertama adalah kemampuan untuk memfasilitasi diri sendiri.
“Untuk ke Faskes sekarang dengan kita melihat seberapa banyak transportasi publik yang bisa diakses oleh masyarakat pinggiran kota Timika, dia pergi dia menunggu berapa jam, lalu mengenai transportasi transportasi publik yang tersedia, kemampuan membayar transportasi itu,” katanya
Kendala berikutnya adalah, adalah tingkat kepercayaan apakah sakit Covid-19 atau tidak karena gejalanya hampir mirip dengan malaria.
“Karena kita sudah sering kena batuk pilek, malaria jadi demam batuk itu kita rasa biasa, padahal mestinya demam batuk kondisi sekarang kita curigai jangan-,jangan Covid makanya kami minta semua tenaga kesehatan di Puskesmas jika pasien batuk pilek di swab saja supaya tidak ada penyebaran kasus,” tuturnya.
Selain itu ada muncul ketakutan pada diri sendiri bahwa jika ke Faskes yang ditakuti adalah para tetangga tau tentang sakit yang diderita.
Tinggalkan Balasan
Anda Harus Login untuk berkomentar. Belum Punya Akun ? Daftar Gratis