Penjelasan Psikolog Soal Trauma Korban Kekerasan Seksual

waktu baca 3 menit
Iryanti Christine Yoku. S.psi. (Foto: Anya Fatma/Seputarpapua)

Kekerasan seksual yang terjadi di Kabupaten Mimika, Papua Tengah sudah sangat meresahkan. Tidak jarang pelaku adalah orang terdekat korban. Dan korban tidak hanya orang dewasa, tapi juga ada anak-anak.

Keluarga yang mengetahui anaknya menjadi korban bereaksi keras hingga menempuh jalur hukum untuk menjebloskan pelaku ke penjara.

Namun meski pelaku sudah di penjara mempertanggungjawabkan perbuatannya, tidak lantas membuat para korban lega. Ada luka dan trauma yang dipendam mereka.

Terkait kondisi korban, Psikolog pada Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), Iryanti Christine Yoku menjelaskan apa sebenarnya yang dirasakan korban setelah menjadi korban pelecehan seksual
baik pencabulan, persetubuhan atau dalam bentuk sentuhan.

“Kalau menurut saya semua punya dampak trauma yang sama,” kata Christin Yoku, Jumat (24/11/2023).

Dikatakan, masing-masing korban tidak bisa dikategorikan dalam kondisi trauma ringan atau berat.

“Kembali ke pribadi masing-masing, kita lihat kesan ada unsur paksaan, rasa tidak nyaman dan apalagi merebut kemerdekaan mereka secara pribadi,” demikian penjelasan u saat diwawancarai di kantor P2TP2A,

Christine mengatakan, trauma bisa dialami korban untuk jangka panjang bahkan seumur hidup.

Dampak dari trauma akibat kekerasan yang dialami biasanya membuat korban mengalami gangguan makan, bisa menjadi banyak makan atau tidak makan akibat stres.

Ada juga mengalami gangguan tidur, bahkan sampai mimpi buruk. Ini bisa terjadi karena kejadian kekerasan yang dialami otomatis mengganggu alam bawah sadarnya.

“Ada juga yang menjadi anti sosial, menarik diri dari keramaian,” katanya.

Khusus untuk korban perempuan, biasanya pelakunya adalah laki-laki dan orang dewasa, ini membuat korban menjadi takut dan menjauh ketika melihat laki-laki atau orang dewasa.

Semua kekerasan yang terjadi memberikan pandangan dan kesan negatif terhadap diri sendiri

Tetapi kembali ke masing-masing korban, ingin bertahan dalam kondisi kesedihannya atau mau pulih.

Dalam kondisi trauma, anak-anak yang menjadi korban harus diberikan dukungan terutama dari orang tua sebagai kerabat terdekat.

Christine dalam penanganan korban, terus mengingatkan kepada orang tua untuk tidak menganggap anak sebagai korban itu bersalah.

Terlebih jangan sampai ada pertanyaan-pertanyaan, kenapa tidak berteriak? Kenapa diam? Kenapa tidak kasih tau?.

Orang tua harus yakin bahwa anak adalah korban, sehingga pernyataan seperti itu tidak boleh diungkapkan.

“Anak itu korban yang sudah pasti dia dibawah tekanan, ancaman, dan itu situasi yang pasti dia menolak. Intinya ini hal yang tidak boleh dikatakan,” katanya.

P2TP2A juga memberikan dukungan seperti terapi dari psikolog, tetapi tidak intens. Terapinya diberikan hanya beberapa kali dalam seminggu.

Sedangkan orang tua, mempunyai lebih banyak waktu bersama anak.

“Orang tua itu peran terpenting karena dekat, dan sangat sering bertemu. Itu penting untuk korban bisa pulih dari traumanya,” ungkap Christine.

Penulis:
Editor:

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Seputar Papua. Mari bergabung di Grup Telegram “Seputarpapua.com News”, caranya klik link https://t.me/seputarpapua , kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Exit mobile version