Ada Empat Unsur Penilaian di Pesparawi XIII Menurut Dewan Juri

Juri Pastor Bernard Rahawarin. (Foto: Elfrida/PesparawiXIII)
Juri Pastor Bernard Rahawarin. (Foto: Elfrida/PesparawiXIII)

TIMIKA | Dewan Juri Pesta Paduan Suara Gerejawi (Pesparawi XIII) se Tanah Papua di Mimika mengatakan, ada empat unsur penting penilaian dalam perlombaan tersebut.

Pada Kategori Music Pop Gerejawi dan Vocal Group ada pengamat musik Indonesia Bens Leo, keyboardist The Bakuucakar sekaligus mantan keyboardist Gong 2000, Harry Anggoman dan Piter Yan Mabor.

Pada kategori Lomba Paduan Suara Pria dan Wanita yakni Branckly Egbert Picanussa, Vonty Sitrona Nahan, Henry Susanto Pranoto, Jasahdin Saragih dan Bernard A. Rahawarin.

Dewan juri Bernard A. Rahawarin usai menjuri Paduan Suara Wanita (PSW), Selasa (2/11) mengatakan, kepada media ini bahwa Biak Numfor yang memperoleh nilai tertinggi yakni 86.48 memiliki kualitas vokal yang mumpuni.

“Mereka tampil maksimal dari lagu pertama sampai ketiga jadi dia konsisten. Dia punya kualitas vokalnya itu konsisten, sehingga secara general kita sudah bisa lihat dari lagu pertama nanti jadinya bagaimana dan di lagu ketiga itu keunggulannya. Akhirnya, keputusan dewan juri setelah diskusi menghasilkan keputusan yang ada (Medali Emas-red).

Sementara tuan rumah Kabupaten Mimika yang mendapatkan nilai 85.73, menurutnya tampil maksimal di lagu pilihan bebas, ‘Dies Irae.’

“Mimika menurut saya, itu yang paling optimal karena itu lagu dari Katolik (Gregorian-red) dan saya paling senang pada penafsiran dan pembawaan mereka,” tuturnya.

“11 kontingen meraih emas, artinya persaingan di PSW ini memang begitu ketat sejak awal. Sementara hanya sedikit yang mendapatkan Medali Perak. Memang kerja keras juri untuk mengeksekusi,” lanjutnya.

Dikatakannya juga bahwa, sistem penilaian yang digunakan oleh juri adalah musica mundi.

Musica mundi itu terdiri dari empat unsur besar, yakni pertama intonasi menyangkut seberapa betul penyanyi menyanyikan nada. Kedua, sound quality yang mencakup unsur-unsur kecil termasuk dinamikanya. Ketiga, kesetiaan terhadap teks bagaimana paduan suara menyanyikan lagu sesuai partitur. Keempat, impresi atau keindahan pada umumnya termasuk bagaimana mempengaruhi audiens dengan penafsiran lagu.

 

Juri Harry Anggoman. (Foto: Elfrida/Pesparawi XIII)

 

Di tempat berbeda di Hotel Horizon Ultima pada kategori Music Pop Gerejawi, Juri Harry Anggoman mengatakan, para kontingen kebanyakan tidak memperhatikan dinamika lagu. Namun berbeda dengan Mamberamo Tengah yang berhasil meraih Medali Emas.

“Mamberamo Tengah bagus karena mereka main etnik. Itu yang kita tunggu-tunggu karena dia mencampur dengan etnik Papua. Ini bermusik di tanah Papua, kenapa tidak dieksplor. Kita punya budaya sendiri. Yang lain hanya bermain reggae dan itu bukan budaya kita,” ucapnya.

Dalam bermusik, katanya yang terpenting adalah dinamika lagu.

“Kalau orang bangun rumah, kan tidak langsung jadi tapi buat pondasinya dulu, kasih naik batu bata. Begitu juga dengan musik diawali dengan sepi, satu alat musik sudah cukup, mulai tambah satu-satu. Jadi orang bisa menikmati lebih enak. Sekali itu gitar atau piano karena dia main sendiri saja dengan vokal,” katanya.

“Setelah itu chorus mulai naik sampai reff lalu kencengin, jatuhin lagi, stop semua turun dari bawah. Nah, itu untuk juri sesuatu yang kagetin dan kita langsung kasih angka. Tapi rata-rata kontingen tidak mikirin sampai kesitu, jadi rata aja semua. Kebanyakan di range yang sama. Jadi kita tidak bisa pisah, mana gitar atau piano. Seharusnya dibagi,” imbuhnya.

Menurutnya, musik harus berbicara dan memberi kesan kepada orang. Musik harus menopang lagu. Rajanya itu lagu bukan musik.

“Kenapa Glenn Fredly (almarhum-red) bisa bertahan karena dia punya kekuatan lagu. Amerika itu jual lagu bukan jual musik. Karya lagu itu sangat penting. Baru intro Januari saja, satu lapangan sudah berteriak. Sayang banget para artis yang tidak punya lagu, mereka akan mudah tenggelam,” ungkapnya.

Ia menjelaskan, para idol yang ganteng, cantik namun begitu ada idol di tahun depan kenapa bisa tenggelam, itu karena tidak ada lagu atau karya. Budaya Indonesia juga begitu dihargai di luar negeri, lalu siapa lagi kalau bukan masyarakat Indonesia sendiri yang seharusnya bangga dan turut melestarikan.

“Jadi sebaiknya kita punya lagu. Lagu yang bagus itu tanpa musik harus bagus. Ini tanah kita, budaya kita, Papua jadi eksplorlah,” pesannya. (Elfrida/Sam Nussy/Pesparawi XIII)

editor : Mish

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Seputar Papua. Mari bergabung di Grup Telegram “Seputarpapua.com News”, caranya klik link https://t.me/seputarpapua , kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *