“Masyarakat adat dan warga terdampak dari operasi PTFI telah dilindungi hak asasi-nya dari pembohongan dan tindak kejahatan manipulasi persetujuan, baik menurut konvensi internasional hingga konstitusi dan hukum-hukum yang berlaku,” sambungnya.
Koordinator Jatam, Merah Johansyah menyatakan, dalam Deklarasi PBB tentang Pengakuan Hak Masyarakat Adat (United Nation Declaration on Indigenous People Rights), memastikan masyarakat adat memiliki hak veto; hak untuk mengatakan tidak dan mendapatkan informasi lebih awal, lebih lengkap, setara dan tanpa paksaan.
Selain itu, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1320 dan 1321, dituliskan bahwa tidak boleh ada paksaan dan manipulasi untuk memperoleh persetujuan dan kata sepakat, termasuk juga dalam hukum nasional lainnya, seperti UU tentang Hak Asasi Manusia.
Ia mengatakan, betapa mendesaknya pelibatan masyarakat termasuk yang berada di pesisir dan terdampak pembuangan tailing perusahaan yang dibuang melalui Sungai Ajkwa.
Pembuangan tailing, katanya, nampak jelas telah merusak aliran sungai, mengakibatkan sedimentasi, hingga menutup muara Ajkwa yang berhadapan dengan laut dan perairan Arafura.
“Selama berpuluh-puluh tahun, warga mengalami penderitaan berlapis akibat kerusakan kawasan pesisir, ekosistem dan sumber penghidupan,” kata Merah.
Lepemawi dan Jatam memprotes keras proses penyusunan dan Konsultasi Amdal yang bahkan tidak melibatkan masyarakat yang ikut terkena dampak tailing di Dldua distrik yaitu Agimuga dan Jita.
Kedua distrik terdapat 18 kampung dari wilayah yang berada di hilir dan pesisir, yang menjadi korban lantaran akses transportasi sungai dan laut yang dangkal akibat sedimentasi pembuangan tailing.
Tinggalkan Balasan
Anda Harus Login untuk berkomentar. Belum Punya Akun ? Daftar Gratis