“Melihat data-data berkas pengaduan Komnas HAM menunjukkan agraria masih masalah yang cukup serius,” kata dia.
Dari angka berkas pengaduan di Komnas HAM yang berada pada kisaran 1.000 berkas pada tiga tahun terakhir menunjukkan bahwa belum ada tanda-tanda penyelesaian.
“Artinya, hingga saat ini mekanisme penyelesaian untuk mengatasi konflik dan masalah agraria belum menunjukkan hasil yang memuaskan,” kata Haris.
Selain itu, penetapan hutan adat dari perhutanan sosial pun realisasinya sedikit. Dari target 12,7 juta hektar peruntukkan hutan adat, Februari 2019 lalu, total yang tercapai hanya sekitar 28.286,32 hektar alias 1 persen dari skema perhutanan sosial lainnya.
Mandat dari putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 untuk memberikan pengakuan terhadap pengelolaan hutan adat, malah dijawab dengan program pemberian sertifikat tanah Jokowi; yang bertentangan jauh dengan semangat pengelolaan kolektif masyarakat adat terhadap ruang hidup.
Lantas, lanjut Haris, ruang hidup yang seharusnya dijamin keberadaannya oleh negara dan dikelola secara kolektif oleh masyarakat, berubah jadi lembar – lembar kertas kepemilikan yang hendak merubah semangat pengelolaan tanah yang adil dan berkelanjutan.
Aliansi Masyarakat Adat (AMAN) mencatat, dari 9,6 juta hektar wilayah adat yang terpetakan dan terdaftar di pemerintah, ada 313.000 hektar tumpang tindih dengan hak guna usaha (HGU) yang tersebar di 307 komunitas adat.
Tak dipungkiri, menjadikannya sertifikat hanyalah menguatkan bahwa pengelolaan tanah di Indonesia sudah berubah menjadi proses jual beli, dan meminggirkan nasib masyarakat adat yang selama ini bercocok tanam guna bertahan hidup tanpa selembar surat.
Tinggalkan Balasan
Anda Harus Login untuk berkomentar. Belum Punya Akun ? Daftar Gratis