Pemimpin-pemimpin lokal di kabupaten/kota maupun di provinsi juga setali tiga uang; tidak banyak yang mau mengakui keberadaan masyarakat adat.
“Padahal keberadaan masyarakat adat sudah jauh lebih dulu ada sebelum lahirnya konsep Negara Indonesia dan kontribusinya secara materil maupun pemikiran bagi perkembangan bangsa,” tandas Haris.
Ia mengatakan, masyarakat adat, terutama nilai dan visual mereka, kerap dijadikan materi dan “didagangkan” oleh non masyarakat adat untuk bisnis pariwisata.
Wilayah adat mereka dirampas untuk pengembangan wisata yang diperuntukkan bagi industri-industri permodalan serta menjadi bisnis perizinan.
“Sekali lagi masyarakat adat tidak disertakan, tidak dilibatkan dan justru disingkirkan. Perlahan mereka punah. Masyarakat adat di tipu negara,” sesalnya.
Refleksi perayaan masyarakat adat sedunia juga semakin menyedihkan. Sebab kolektivitas yang jadi identitas utama masyarakat adat semakin diuji. Tak hanya oleh jual beli suara dan transaksi politik. Namun juga situasi pandemi yang mengancam kesehatan dan keberadaan masyarakat di Indonesia.
Ada sekitar 17 juta anggota masyarakat adat yang juga terancam tidak mendapat pelayanan kesehatan maksimal selama pandemi COVID-19.
Beban hidup yang terus menumpuk akibat kenaikan iuran BPJS Kesehatan serta tuntutan untuk terus bertahan hidup di tengah kondisi perekonomian yang kian terpuruk.
Tinggalkan Balasan
Anda Harus Login untuk berkomentar. Belum Punya Akun ? Daftar Gratis