JAKARTA | Pagebluk COVID-19 memang menghadirkan duka. Lebih dari 96 juta orang dari 224 negara di dunia telah terinfeksi, dan sekitar dua juta di antaranya harus kehilangan nyawa.
Di Tanah Air, jumlah kasus positif COVID-19 mulai mendekati angka satu juta kasus dan 27.543 jiwa telah menghadap Sang Pencipta.
Resesi perekonomian baik global maupun domestik pun tak terhindarkan, walau bukan yang pertama kali. Angka pengangguran melonjak tinggi dan berdampak pada tergerusnya konsumsi masyarakat akibat pandemi yang tak tahu kapan akan berhenti.
Meski demikian, selalu ada hikmah di balik setiap peristiwa. Masih merebaknya COVID-19 seiring munculnya varian baru, memaksa kebijakan pembatasan kegiatan fisik tetap diberlakukan. Banyak aktivitas yang akhirnya mau tidak mau harus dilakukan di rumah, termasuk melakukan transaksi keuangan.
Sebelum pandemi, digitalisasi di sektor keuangan memang telah berlangsung. Dengan adanya pandemi, digitalisasi semakin masif dan tampaknya sudah menjadi sebuah keharusan, tak terkecuali dalam aktivitas pembayaran.
Masyarakat yang sebelumnya terbiasa bertransaksi secara tunai, kini dipaksa melakukan pembayaran secara nontunai untuk meminimalisir penularan virus akibat penggunaan uang kertas.
Bank Indonesia selaku otoritas sistem pembayaran juga gencar terus mengajak masyarakat bertransaksi secara nontunai baik melalui digital banking, uang elektronik, dan perluasan akseptasi Quick Response Indonesia Standard (QRIS).
Untuk transaksi digital banking sepanjang tahun ini, bank sentral bahkan memperkirakan nilai transaksinya akan lebih tinggi dari nominal Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia yaitu mencapai Rp32.206 triliun.
Tinggalkan Balasan