TIMIKA | Dinas Kesehatan Kabupaten Mimika, Papua Tengah, mencatat pada tahun 2022 ditemukan kurang lebih 160 kasus gizi buruk atau 0,7 persen. Angka ini lebih rendah dari tahun 2021, sekitar 1,6 persen.
Hal ini disampaikan Sekertaris Dinkes Mimika, Marselino Mameyao saat ditemui di ruang kerjanya, Rabu (1/3/2023).
Menurutnya, ada beberapa Puskesmas yang biasa melapor adanya kasus gizi buruk melalui Aplikasi elektronik-Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis masyarakat (e-PPGBM).
“Namun yang lebih dari dua kasus, seperti di Puskesmas Timika, Puskesmas Mapurujaya dan Puskesmas Wania,” kata Marselino.
Penangan kasus gizi buruk tidak serta merta langsung sembuh. Karena kata Marselino, dalam pengobatan gizi buruk harus sesuai tata laksana kriteria.
“Misalnya mana yang diberikan Formula 100 (racikan khusus untuk penderita gizi buruk) yang setiap hari diberikan oleh tenaga kesehatan, dan mana yang hanya diberikan edukasi,” ungkapnya.
Menurut Marselino, kasus gizi buruk dilihat dari berat badan dan per tinggi badan.
Jika masuk kategori gizi buruk, maka akan diperiksa oleh dokter apakah perlu penanganan khusus dari dokter ataukah hanya dirawat jalan.
Diakui, seharusnya tidak boleh ada kasus gizi buruk dalam suatu daerah. Namun di Mimika, kebanyakan kasus gizi buruk terjadi karena dengan penyakit penyerta seperti diare, imunisasi tidak lengkap hingga TBC.
“Meskipun di Indonesia masih ada kasus itu (gizi buruk), tapi kita dibawah satu persen. Kalau angka memang masih seratusan, itu bisa fatal juga,” ujar Marselino.
Saat ini, Puskesmas sudah diberikan pelatihan untuk tata laksana gizi buruk.
Salah satunya adalah giat melakukan pengukuran dan penimbangan balita saat mengadakan posyandu.
Tahun 2022, sebanyak 24 ribu balita berhasil di timbang tenaga kesehatan.
Untuk itu, Marselino berharap peran orang tua untuk rajin membawa anak ke Posyandu hingga usia 5 tahun, meskipun imunisasi sudah diterima secara lengkap.
“Sampai 5 tahun harus dikontrol berat badannya, kalau balita dua kali tidak naik, berat badannya harus diperiksa oleh dokter. Karena biasanya ibu-ibu hanya bawa anak-anak ke Puskesmas sampai campak saja, setelah itu imunisasi habis itu tidak dibawa lagi,” ujar Marselino.
Marselino menambahkan, upaya Dinkes dalam menangani gizi buruk bukan hanya melakukan penimbangan dan pengukuran tinggi anak.
Tetapi, bagaimana Puskesmas juga dapat menangani kasus gizi buruk jika ditemukan.Hal ini dilakukan dengan memberikan pelatihan kepada tenaga kesehatan yang bertugas di Puskesmas.
Selain itu, penangan gizi buruk juga harus melibatkan berbagai lintas sektor.
“Tahun sebelumnya 9 puskesmas dilatih, tahun lalu 13 puskesmas untuk meningkatkan penanganan tata laksana gizi buruk, ada juga Pemberian Makanan Tambahan (PMT) yang bekerjasama dengan Freeport, dan memang kerjasama lintas sektor juga sangat dibutuhkan,” pungkasnya.
Tahun ini, Dinkes kelola dana Rp500 juta bersumber dari APBD untuk penanganan masalah gizi secara keseluruhan termasuk gizi buruk.
Tinggalkan Balasan
Anda Harus Login untuk berkomentar. Belum Punya Akun ? Daftar Gratis