Perjalanan Suku Awyu dan Moi Mempertahankan Hutan Adat

Aksi demonstrasi perwakilan masyarakat adat Awyu dan Moi di depan Gedung Mahkamah Agung. Mereka menuntut Mahkamah Agung mencabut izin dua perusahaan kelapa sawit di Boven Digoel dan Sorong yang mengancam hutan adat. Foto: Jurnasyanto Sukarno/Greenpeace

TIMIKA, Seputarpapua.com | Suku Awyu merupakan salah satu masyarakat adat yang ada di Papua yang mendiami Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua Selatan, dan Suku Moi berada di Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat Daya. Kedua masyarakat adat ini memiliki tujuan yang sama menggugat perusahan kelapa sawit yang ingin merampas hutan adat mereka.

Kuasa Hukum dari suku Awyu yang juga staf advokasi Yayasan Pusaka, Tigor Hutapea, mengatakan perjuangan suku Awyu dan Moi untuk menyelamatkan hutan adat mereka melalui gugatan di Pengadilan dimulai pada tahun 2023, namun penolakan adanya perusahaan sawit itu, khusus suku Awyu, sudah terjadi sejak tahun 2017.

Sedangkan suku Moi, dikutip dari mogabay.co.id, diawali pada tahun 2021 saat Bupati Sorong mencabut izin perusahaan sawit namun gagal, karena gugatan perusahaan menang. Kemudian pada 2022 Pemerintah Pusat sempat mencabut izin perusahaan sawit tersebut, namun tidak jauh berbeda dengan 2021, perusahaan kembali menang dalam gugatannya di PTUN Jakarta.

“Jadi kalau suku Awyu itu menggugat izin lingkungan PT Indo Asiana Lestari (IAL) karena permohonan yang diajukan oleh suku Awyu ke Pemerintah Deerah tidak direspon, akhirnya kita mengajukan gugatan itu, di Pengadilan Jayapura sampai Manado dikalahkan, kemudian kita ajukan kasasi kemarin (ke Mahkamah Agung),” terang Tigor Hutapea yang dihubungi pada Rabu, 5 Juni 2024.

Tak jauh berbeda dengan suku Awyu, suku Moi pun menempuh jalur hukum untuk menyelamatkan hutan adat mereka.

“Untuk suku Moi agak sedikit berbeda, karena perusahaan yang menggugat pemerintah. Tapi dalam proses persidangan, kita (tim kuasa hukum suku Moi,red) ingin masyarakat adat juga bisa dilibatkan, akhirnya hakim menerima itu dan masyarakat adat suku Moi terlibat dalam proses persidangan,” jelasnya.

Gugatan kedua suku itu berakhir sama, sebab gugatan dalam proses hukum suku Moi, perusahaan menang. Akhirnya kedua suku sama-sama mengajukan kasasi.

“Jadi semuanya berada di proses kasasi Mahkamah Agung,” ungkapnya.

Ditanya apakah masyarakat dilibatkan dalam proses pemberian izin, menurut Tigor, apa yang disampaikan oleh mereka-mereka yang menggugat, sama sekali tidak mengetahui soal perizinan yang diberikan kepada perusahaan.

“Mereka tahu ketika perusahaan itu ingin masuk, dan mengatakan mereka (perusahaan,red) sudah memiliki izin. Nah, masyarakat baru tahu saat itu, makanya meminta pemerintah untuk mencabut,” tuturnya.

Tigor menyebut bahwa semua lokasi yang termasuk dalam gugatan merupakan wilayah adat.

“Yang mengeluarkan izin itu daerah, yang pertama dari Dinas Penanaman Modal Satu Pintu Provinsi Papua dan satunya dari Bupati Sorong,” katanya.

Advertisements

Dua perusahaan yang digugat yakni PT IAL untuk kasus suku Awyu, dan PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) untuk kasus suku Moi. Kedua perusahaan dari luar Indonesia, PT IAL dari Malaysia dan PT SAS dari Singapura dan keduanya penanaman modal asing.

“Kalau di Papua banyak masalah sawit, tetapi yang maju ke persidangan hanya mereka (suku Awyu dan Moi),” katanya.

Tigor membeberkan dampak jika perusahaan sawit masuk dan menguasai hutan adat, masyarakat adat akan kehilangan kehidupan lantaran bergantung pada sumber daya yang berada di hutan.

Advertisements

“Jika (perusahaan) sawit masuk, hutan hilang, maka mereka (masyarakat adat) akan kesulitan mencari makan, mencari hidup, dan kehilangan identitas budaya mereka,” ungkapnya.

Proses kasasi di MA kini masih berjalan, hasilnya baru akan diketahui satu hingga dua bulan kedepan.

“Kalau soal langkah selanjutnya kita tunggu putusan dulu. Misal, hakim menolak kasasi, kita baca dulu putusannya seperti apa, baru kita pikirkan upaya berikutnya,” tandasnya.

Advertisements

Dikutip mongabay.co.id, PT IAL mengantongi izin lingkungan seluas 36.094 hektar yang berada di hutan adat Marga Woro–bagian dari suku Awyu. Kemudian PT SAS akan menguasai 18.160 hektar hutan adat suku Moi untuk perkebunan sawit. Bahkan sebelumnya PT SAS memegang konsesi seluas 40.000 hektar di Kabupaten Sorong.

Permasalahan tanah adat ini juga menarik perhatian Kapolda Papua Irjen Pol Mathius D. Fakhiri. Ia berharap permasalahan terkait tanah adat di Kabupaten Boven Digoel (suku Awyu) dengan perusahaan sawit dapat segera terselesaikan dengan akhir yang baik.

Kapolda bahkan menyebut telah memerintahkan tim untuk mengecek langsung di lapangan guna menangani dampak atas masalah tersebut.

“Dengan harapan minggu ini dapat kita selesaikan agar masyarakat, pemerintah bersama perusahaan yang terkait bisa menemukan titik temu yang terbaik tentunya,” ujar Fakhiri dalam keterangan yang diterima media ini pada Kamis, 6 Juni 2024.

Advertisements

Kapolda juga mengingatkan kepada perusahaan-perusahaan yang beroperasi di tanah Papua untuk memperhatikan masyarakat lokal di sekitarnya.

Khusus di Papua, Kapolda menekankan setiap tanah ada pemiliknya masing-masing, sehingga penting untuk diperhatikan dengan baik.

penulis : Fachruddin Aji
editor : Saldi Hermanto
sumber : mogabay.co.id

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Seputar Papua. Mari bergabung di Grup Telegram “Seputarpapua.com News”, caranya klik link https://t.me/seputarpapua , kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Tinggalkan Balasan