OPINI | Peran Pemerintah Dalam Komunikasi Penanganan Pandemi Covid -19 di Indonesia

Halasson Fransisco Sinurat ( Praktisi Pemerintahan )
Halasson Fransisco Sinurat ( Praktisi Pemerintahan )

Oleh:
Halasson Fransisco Sinurat ( Praktisi Pemerintahan )

Pandemi global Covid-19 memunculkan problematika bagi negara khususnya di Indonesia, mengenai bagaimana upaya negara untuk mencegah dan menghentikan penyebaran virus ini agar tidak semakin meluas.

Indonesia melaporkan kasus pertama COVID-19 pada tanggal 2 maret 2020 dan hingga kini jumlahnya terus bertambah.

Per 30 Juni 2020, Kementerian Kesehatan melaporkan 56.385 kasus konfrmasi COVID-19 dengan 2.875 kasus meninggal (CFR 5,1%) yang tersebar di 34 provinsi (Sitohang dan Sinabutar, 2020).

Kasus COVID-19 terus mengalami peningkatan sampai dengan Tanggal 19 September 2021 melaporkan jumlah kasus terkonfirmasi dengan 4.190.763 kasus, sembuh sebanyak 3.989.326 kasus dan meninggal sebanyak 140.468 kasus ( sumber: www.COVID19.GO.ID)

Penyebaran COVID-19 ke berbagai negara membuat pemerintah daerah dan masyarakat Indonesia menghadapi tantangan berat (Hanoatubun, 2020).

Penyakit ini dengan virus SARS-CoV-2 sangat menular melalui kontak dekat dan virus penyebab dalam hitungan minggu melalui mobilitas penduduk telah menyebar cepat ke banyak negara lain, termasuk Indonesia.

Hal di atas diperparah dengan adanya ketidaksinkronan kebijakan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam upaya mencegah penyebaran Covid-19.

Komunikasi pemerintahan memegang peran penting dalam penanganan pandemi Covid-19.

Komunikasi pemerintahan tidak hanya tentang mengelola opini publik melainkan lebih dari itu, bagaimana mengelola keseluruhan proses komunikasi yang berlangsung di pemerintahan untuk mendukung tercapainya tujuan dalam penanganan Covid-19 (Aziz dan Wicaksono, 2020).

Strategi komunikasi pemerintah yang tepat, berdasarkan pengemasan materi dan data dukung yang berkualitas melalui beragam channeling komunikasi kekinian, menjadi isu strategis yang perlu dijadikan pengarus utama dalam perbaikan tata kelola komunikasi pemerintah.

Kualitas suatu komunikasi pemerintahan sangat penting bagi kesejahteraan masyarakat.

Pemerintah harus terlibat dalam proses pertukaran informasi mengenai kebijakan, ide atau gagasan dan keputusan antara pemerintah dan masyarakat (Lumangkun et al., 2020).

Bagaimanakah model komunikasi pemerintah yang efektif dalam menanggulangi dan penanganan pandemic covid-19 sekarang ini.

Harold Lasswell menjelaskan bahwa untuk memahami proses komunikasi massa kita perlu mempelajari setiap tahapan modelnya, yaitu Who, Says what, In which channel, To Whom, dan With what effect (Fiske, 2007, p. 46).

Apabila dijabarkan sebagai berikut,yaitu (1) Who, Siapa komunikatornya? (2) Says what, Pesan apa yang dinyatakannya? (3) In which channel, Media apa yang digunakannya? (4) To Whom, Siapa komunikatornya? (5) With what effect, Dampak apa yang diharapkan?(Hasan, 2005, p. 45).

Strategi komunikasi kadang disamakan dengan kebijaksanaan komunikasi, padahal strategi komunikasi adalah kiat atau taktik yang bisa dilakukan dalam melaksanakan perencanaan komunikasi (Cangara, 2018, p. 66). Dalam menetapkan strategi ada beberapa langkah yaitu (1) penetepan komunikator, (2) penetapan target, (3) menyusun pesan-pesan, (4) pemilihan media dan saluran komunikasi, (5) pretesting communication material, (6) produksi media, (7) penyebarluasan pesan dan (8) pengaruh (effect) yang diharapkan (Cangara, 2018, p. 104).

Dalam ruang yang kompleks ini, pengetahuan, nilai, dan perspektif yang diperebutkan menghasilkan ketegangan dalam pembuatan kebijakan (Head, 2016). Bahkan keputusan yang tepat kemungkinan akan ditantang ketika menangani krisis yang kompleks karena perbedaan nilai yang mendasarinya (Parkhurst dan Abeysinghe, 2016).

Strategi komunikasi penanganan Covid-19, Pemerintah juga perlu menggunakan pendekatan komunikasi dalam situasi Krisis (Situational Crisis Communication Theory). Dalam strategi ini, rebuilding posture menjadi pilihan terbaik dalam merespons situasi krisis ini.

Berdasarkan telusur dokumen, setidaknya ada 4 (empat) masalah utama komunikasi pemerintahan dalam penanganan Covid-19 yang dihadapi pemerintah di Indonesia, yaitu kurang akuratnya data dan informasi, minimnya sosialisasi informasi terkait beberapa isu, rendahnya kepercayaan public kepada pemerintah, dan kurang efektifnya komunikasi organisasi pemerintahan (Zaremba, 2014).

Menurut. Timothy (2013), dalam melakukan kegiatan komunikasi krisis, hal pertama yang harus diperhatikan adalah keselamatan dari publik, melalui penyampaian instructing information dan adjusting information.

Akan tetapi, untuk proyeksi jangka panjang adalah bagaimana reputasi dari organisasi tersebut setelah terjadi krisis.

Krisis dapat menaikkan ataupun menurunkan reputasi organisasi. Dengan kata lain, kecakapan organisasi dalam mengatasi krisis berpengaruh terhadap reputasi organisasi tersebut dalam jangka panjang.

Untuk mengatasi hal tersebut maka komunikasi krisis para pemimpin harus mendengarkan kebutuhan dan kekhawatiran masyarakat serta mengungkapkan empati dan perhatian yang tulus.

Mereka seharusnya tidak takut mengungkapkan empati atau menunjukkan emosi (Seeger, 2006). Ekspresi kasih sayang meningkatkan kredibilitas dan mengarah pada komunikasi yang lebih efektif (Reynolds dan Quinn, 2008).

Semakin warga merasa bahwa politisi berempati dengan mereka dan peduli dengan kesejahteraan mereka, semakin besar kemungkinan mereka akan menanggapi saran yang diberikan dengan baik (Pfattheicher et al., 2020).

Pada masa krisis, penting untuk memberikan informasi spesifik tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari, yang dapat mengurangi kecemasan dan menjaga ketertiban.

Masyarakat menganggap pesan relevan ketika keduanya mempengaruhi kehidupan mereka dan membutuhkan upaya pemrosesan yang relatif sedikit (Wilson dan Sperber, 2002).

Membangun kepercayaan dapat ditingkatkan dengan berkomunikasi secara teratur (misalnya, pada waktu yang tetap) di banyak saluran. Secara umum, komunikasi harus diuji kejelasan dan keefektifannya secara apriori jika memungkinkan.

Selain itu, pembuat kebijakan dan personel komunikasi didorong untuk bekerja dalam konsultasi dengan pakar materi pelajaran di berbagai yurisdiksi untuk mengadopsi sistem peringatan kesehatan masyarakat yang seragam.

Kredibilitas sangat penting untuk komunikasi yang efektif dan persuasif (Briñol dan Petty, 2009). Strategi untuk mencapai kredibilitas maksimum selama respons pandemi termasuk memanfaatkan perantara yang tepercaya dan berwibawa seperti pakar medis dan kesehatan masyarakat untuk mengomunikasikan pesan-pesan utama.

Kepercayaan pada profesional kesehatan, ilmuwan, dan organisasi medis ahli umumnya tetap tinggi meskipun kepercayaan publik terhadap pemerintah rendah (Funk dan Kennedy, 2019).

Orang lebih cenderung mengikuti saran jika mereka memahami alasan di baliknya. Oleh karena itu, sangat penting untuk menjelaskan mengapa tindakan tertentu penting, bermanfaat, atau bermasalah (misalnya, ‘kita harus mengamati jarak fisik untuk melindungi populasi yang rentan dari paparan’) dan dasar pengambilan keputusan.

Persepsi risiko dapat menjadi prediktor perilaku protektif (Katapodi et al., 2004), dan dengan demikian risiko tidak boleh dibesar-besarkan atau diremehkan.

Ketika perubahan sudah dekat, para pemimpin harus berkomunikasi lebih awal, bahkan dengan informasi yang tidak lengkap. Sementara orang tidak menyukai ketidakpastian, persepsi kebingungan lebih buruk karena mengurangi kepercayaan.
Selain itu dengan menggunakan pendekatan norma social.

Orang-orang secara intrinsik termotivasi untuk menjaga kelompok mereka, untuk itu komunikasi yang optimal perlu melibatkan pembinaan solidaritas (Kerssen‐Griep et al., 2003) dan menyelaraskan pesan dengan norma sosial untuk mengambil tanggung jawab untuk orang-orang yang dekat dengan mereka dan sesama warga dan menghindari menjadi vektor penyakit.

Berdasarkan pembahasan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan dalam mengatasi kondisi pandemic Covid 19 sekarang ini, pemerintah juga perlu menggunakan pendekatan komunikasi dalam situasi Krisis (Situational Crisis Communication Theory). Dalam strategi ini, rebuilding posture menjadi pilihan terbaik dalam merespons situasi krisis ini.

Namun strategi ini secara jangka panjang akan berdampak pada penurunan kredibilitas pemerintah

Untuk mengurangi dampak tersebut, maka pemerintah perlu melakukan pendekatan komunikasi dengan empati, menjaga kredibilitas informasi, dan dengan pendekatan norma social yang dapat dipertanggung jawabkan.

Ditinjau Oleh: Irsul Panca Aditra

(Opini adalah pendapat atau gagasan penulis yang dikirim ke Redaksi Seputar Papua. Keseluruhan konten menjadi tanggungjawab penulis)

 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Seputar Papua. Mari bergabung di Grup Telegram “Seputarpapua.com News”, caranya klik link https://t.me/seputarpapua , kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *